Sunday, October 5, 2008

Tension of Redemption

Tulisan kuratorial Rifky Effendy ini dibuat untuk pameran seniman perempuan Indonesia bernama Titarubi. Tulisan ini adalah salah satu dari sekian tulisan yang saya terjemahkan di masa-masa awal saya mulai menerjemahkan teks dari lingkup dunia seni.

Lebih setahun lalu Tita pernah memamerkan serial karya instalasinya di galeri Benda Yogyakarta dengan tajuk Se(tubuh) yang kental dengan persoalan seputar keperempuanan. Lewat olahan bentuk penggalan tubuh-tubuh yang bahannya didominasi oleh keramik stoneware dan kombinasi bahan lainnya, karya tersebut disusun berkesan dramatik dan teatrikal. Begitupun karya yang ia pamerkan di galeri Nadi dalam pameran All I Need is Love dan Girl’s Talk di galeri Edwin tahun 2003, yang lebih banyak menggunakan everyday objects namun penuh daya magis. Apa yang termuat di balik karya-karyanya merupakan suatu narasi tentang pergulatan personalnya dalam kehidupan. Dari pengalaman keseharian itulah ia berangkat, menawarkan dan mengajak kita berdialog tentang persoalan sosial yang terkait dengan kondisi dunia perempuan dalam sebuah masyarakat dan budaya.

Serial karya instalasinya yang terbaru lebih condong pada persoalan interpersonal antara dirinya dan hubungan-hubungan keluarga secara normatif, terutama ketika ia mengalami “takdir” sebagai seorang perempuan, istri, dan ibu di tengah kehidupan sosial dalam suatu masyarakat. Karya-karya instalasi ini lebih personal terutama karena ia banyak menggunakan imaji kedua anak perempuannya, Gendis dan Charkul, yang ia terapkan pada patung dan relief cetak tanah liat, olahan materi lewat gravir di atas kaca, cetak relief alumunium, bayangan (cahaya) dan pada cetak grafis etsa.

Stigma Masyarakat

Sekujur tubuh mahluk mungil itu dipenuhi dengan huruf-huruf Arab, berkesan seperti tato. Bukan untuk membandingkan satu sama lain, tetapi memang terdapat kesan yang sama pada citraan fotografi seniman perempuan Iran yang tinggal di NewYork City, Shirin Neshat, yang seringkali membubuhkan huruf-huruf arab pada wajah maupun tubuh orang yang ia foto. Bisa jadi Tita terinspirasi olehnya karena karya Neshat memang cukup populer dan telah menjadi ikon bagi seniman perempuan kontemporer Asia-Amerika. Yang jelas terdapat sebuah kesamaan, yaitu adanya stigma agama di sana.

Huruf Arab identik dengan latar belakang religius keduanya yaitu dunia Islam. Iran dan Indonesia merupakan dua negara dengan mayoritas penduduk pemeluk agama Islam. Meskipun persoalan agama (Islam) dan budaya masyarakat di kedua bangsa ini mempunyai berbagai problematika dan solusinya yang khas dan unik dan berbeda.

Kemunculan ikon (stigma) Islam pada karya Tita terjadi karena ia lahir dan tumbuh dalam sebuah keluarga yang hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia dengan banyak nilai-nilai yang bersinggungan, antara tradisi, agama, dan modernitas. Persentuhan dan ketegangan antara nilai itu cukup bisa dirasakan dalam keseharian kita.

Sebagai seorang perupa, kehidupannya dalam lingkungan sosial masyarakat menengah tentunya memunculkan berbagai konflik internal dalam dirinya. Figur-figur anak yang digunakan sebagai unsur utama karyanya adalah simbolisasi yang terbentuk dari hubungan langsung antara ia sebagai ibu dengan kedua putrinya, serta kehidupan sosial-budaya yang mengitarinya. Jukstaposisi keduanya menjadi bagian penting dari karyanya karena memunculkan kesan kontras dan menyiratkan suatu ketegangan, suatu ideosyncratism. Hubungan ibu dan anak merupakan sebuah hubungan esensial dan mempunyai nilai spiritual. Ibu dan anak memiliki ikatan batin, selain genetik, yang mendalam, yang merupakan suatu tonggak penting dalam sebuah keluarga, dan sekaligus menciptakan problematika yang kompleks.

Gestur sang anak, Gendis, menadahkan tangan, bisa dimaknai sebagai sedang berdoa, menolak, atau menyerah, atau juga seperti sedang melakukan bagian dari suatu kegiatan. Jukstaposisi tanda ini juga menandakan suatu konflik: menerima sesuatu (nilai) dari luar atau faktor eksternal. Seperti kita sadari, konstruk sosial itu bisa memperkuat, memperkaya, atau mereduksi kesadaran manusia. Di sinilah kita membaca adanya persoalan umum dalam keseharian, adanya metafor akan tubuh sebagai suatu “arena pertarungan nilai-nilai” yang mungkin telah menjadi resiko kehidupan itu sendiri, yang tak mungkin ditolak. Kenyataan ini telah menjadi pertanyaan-pertanyaan pribadi tiap individu, yang harus dicari pemecahan unik untuk masing-masing orang.

Diri dan Keluarga

Hal ini menjadi dilematis saat banyak nilai yang berlawanan dengan suatu keyakinan atau pandangan tertentu, menyelusup dalam kehidupan pribadi kita, baik secara sadar maupun tidak; karena jengah, pola pendidikan ataupun sebagai konsekuensi bermasyarakat seperti di Indonesia. Apalagi jika hal tersebut dialami sebuah keluarga.

Anthony Giddens melihat era globalisasi seperti saat ini telah menggeser nilai ikatan keluarga tradisional terutama dalam masyarakat seperti kita. Hubungan orangtua-anak dulu didasari secara normatif oleh nilai ekonomi dan keyakinan adat serta agama. Hubungan ini menurunkan kecenderungan dogma-dogma yang menghasilkan otoritaf absolut pada orangtua. Kini pola tersebut telah bergeser ke hubungan yang berdasarkan asas keterbukaan, dialogis, kesetaraan atau demokrasi. Giddens melihatnya sebagai hubungan “demokrasi emosi” dalam keseharian. Orangtua demokratis adalah orangtua dengan otoritas di atas “kontrak implisit”. Dalam suatu demokrasi emosi, posisi anak bisa dan seharusnya sanggup balik bertanya pada orangtua. Orangtua bukan lagi suatu lembaga yang tak terbantahkan (Giddens, 1999: 54-63). Hubungan orangtua dan anak menjadi rasional dan orangtua dituntut memberikan segala jawaban yang sesuai dengan pemahaman, untuk menghindarkan munculnya banyak kekhawatiran ketika generasi terdahulu tak cukup membekali kita dengan logika, termasuk pada pemahaman religi.[1]

Stigma agama dalam karya-2 Tita tampak jelas pada huruf-2 Arab yang tertancap pada permukaan patung dan relif keramiknya. Huruf2 itu diambil dari ayat2 Alquran, berupa doa-doa untuk memulai aktivitras sehari-hari; makan, tidur, dan sebagainya. Menandai pekerjaan guna diberikan ridha sang penguasa alam, sehingga kelak bermanfaat bagi diri kita maupun orang lain. Hal ini biasa diajarkan sejak kanak-kanak, baik oleh orangtua maupun para guru agama. Doa-doa ini merupakan simbolisasi dari upaya perlindungan kita dari pengaruh negatif. Sebuah “perisai” batin saat mnghadapi serangan dari luar. Doa-doa itu terpatri di atas permukaan tubuh inosen seperti baju besi yang dikenakan para prajurit dalam perang suci berabad yang lalu. Memang dalam keyakinan Islam, kehidupan adalah metafor dari perjuangan manusia. Suatu “perang abadi” melawan kekuatan negatif, kekuatan yang kadang abstrak dan selalu diniscayakan ada di hadapan kita yang akan menyerang kita tanpa kita duga. Doa merupakan cara untuk menjaga jiwa-raga kekuatan itu.

Ada juga penampakan daun2 pepaya sebagai elemen maupun bentuk simbolisasi yang lain. Fungsi daun pepaya dalam masyarakat tradisi merupakan unsur alami yang bisa mengobati penyakit tertentu maupun sebagai medium yang lazim digunakan untuk melunakkan dan meredam bau daging mentah terutama kambing dan sapi dengan membungkusnya.

Seorang perempuan, kata Simone de beauvoir dalam Second Sex, “merasa dikelilingi oleh banyak gelombang, radasi, dan cairan yang mistis; ia percaya pada telepati, astrology, radioterapi, mesmerisme, teosofu, dan hal-hal yang bersifat nujum, kedukunan; religinya penuh dengan hal-hal gaib yang primitif: lilin, pemuhaan, doa-doa balasan (....) Perilakunya akan menjadi aneh dan bergantung pada doa-doa; untuk meraih hasil-hasil tertentu, ia akan melakukan ritual-ritual tertentu yang sudah biasa.” Dalam masyarakat tradsisional tertentu di tanah air seringkali kita menmukan apa yang dinamakan “jimat” atau “isim” yang beragam bentuknya, seperti rajahan atau dalam selipan pakaian seseorang. Gunanya untuk menghindari kekuatan asing dan jahat dari luar dirinya. Tita secara metafor berusaha membendung derasnya nilai-nilai eksternal yang terkonstruksi oleh kehidupan itu sendiri lewat simbolisasi perisai doa-doa sampai daun pepaya guna melindungi orang-orang yang dicintainya.

Pertanyaan2 naif dari orang-orang terdekat tentang kontradiksi nilai religi dan realitas kehidupan telah berubah menjadi konflik dalam batin, dan kemudian menjadi buah simalakama ketika harus mencari kebenaran hakiki di antara lautan nilai yang mendominasi, terbungkus oleh konstruksi sosial dan privilege tertentu yang menghasilkan kelaziman, bahkan membentuk stereotypenya di atas kehidupan individu yang unik dan khas. Lembaga agama telah berubah menjadi kendaraan bagi kepentingan-kepentingan tertentu dan mengeliminir nilai-nilai individual. Di sinilah ketegangannya makin nampak. Keresahan-keresahan Tita dalam membayangkan dan menyelamatkan masa depan anak-anaknya di antara ruang ketakutan, kekhawatiran dan perjuangan. Tita seperti seseorang yang “kepasrahan mengambil bentuk kesabaran: ia mengatur segalanya, dan tidak menyalahkan siapa-siapa, karena ia tidak menguasai orang ataupun benda lainnya selain mereka sendiri” (De beauvoir)

Representasi ini dielaborasikan dengan baik lewat kesadaran-kesadaran Tita pada sifat dasar material. Keramik stoneware yang ringkih secara struktur, retak-retak kaca yang dibakar, bening dan lembut permukaannya, mengkilat dan licinnya permukaan lempeng alumunium dan tekanan2 jarum besi yang tertoreh pada pelat logam yang terekam lewat mesin cetak etsa. Maupun pada teknik penggabungan medium seperti kayu, paku, unsur pencahayaan lampu maupun pengaturan letak. Lewat pengulangan-pengulangan yang menekankan kekuatan daya tangkap visual maupun harmonisasi warna yang sederhana, apakah berdiri, di dinding maupun di lantai, terbentuk ritme yang teratur, meneror dan liris. Di sinilah letak kesamaannya dengan spirit Neshat: memadukan antara penghayatan persoalan, gagasan dan kematangan artistik.

Ekspresi dan Medium

Medium di tangan Tita juga menjadi sangat penting dibicarakan. Selain menggunakan medium yang sangat beragam, ia juga berhasil menciptakannya menjadi mempunyai wataknya sendiri dalam mewakili dunianya sendiri.

Medium telah mempunyai konstruksi sosial yang panjang dalam sejarah, terutama dalam seni rupa modern Barat yang diajarkan sejak bangku kuliah. Seni keramik yang digeluti Tita, dalam pandangan yang dilazimkan atau pandangan fine art, bukanlah medium yang menjadi unggulan para maestro yang kebanyakan dikenal. Sejarah seni modern memperlihatkan bahwa medium cat minyak di atas kanvas dalam tradisi seni lukis, cor logam atau pahat kayu dan batu dalam seni patung, merupakan medium ekspresi yang lazim digunakan para seniman lelaki.

Mitologi modernisme, menurut kritikus perempuan Amerika, Mary Anne Staniszwelski, terlalu mengunggulkan seni lukis karena terdapat jejak kehidupan psikologis senimannya. Melukis lebih bernilai karena merekam secara spontanitas ekspresi diri, tanpa halangan dan murni.[2] Walaupun kemudian secara politis tradisi seni lukis telah mengalami pergeseran nilai oleh para seniman seperti Andi Warhol maupun Gerhard Richter di tahun 1960-an, yang mengkritik tradisi seni lukis dengan memasuki wilayah ambiguitas seni populer dan fotografi dalam praktik seni lukis mereka.

Pemilihan medium menjadi dianggap ideologis, medium tak lagi bisa dianggap netral. Medium sebagai alat ekspresi maupun teknologi tersirat adanya relasi pada suatu hal yang disebabkan konstruksi sejarah, atau karena digunakan oleh kelompok sosial tertentu untuk membangun kekuasaannya, memenuhi kepentingannya, menanamkan nilainya. Yasraf Amir Piliang menjabarkan bahwa teknologi (atau medium) telah menciptakan “monopoly pengetahuan” oleh kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat dan mengucilkan kelompok marjinal yang tak mempunyai akses ke dalamnya, misalnya kelompok perempuan atau anak-anak (Piliang, 2001:9).

Kemudian, Tita menggunakan medium utama ketamik yang selalu diidentikkan dengan kerajinan tangan (kriya), di mana medium ini cenderung termajinalkan sebagai medium ekspresi seni rupa modern. Penyair feminis Indonesia, Toeti Heraty, dalam suatu wawancara berargumen bahwa setiap bidang seni punya keunikan yang terletak pada materi yang digarap sebagai medium yang berbeda, yang menunjukkan kekhususan dan keunikannya. Maka tak perlu mendudukkan yang satu lebih rendah atau lebih tinggi daripada yang lainnya. Masih ada paham-paham maskulin yang menyatakan kerajinan tangan itu bukan seni karena masih kental dengan keterampilan tangan sedangkan seni adalah “inspirasi”. Perkembangan wacana posmodern seharusnya bisa mendudukkan seni kerajinan sebagai suatu aspek seni rupa dan bila hal itu berlaku maka akan ada banyak kaum perempuan bisa masuk dalam sejarah seni rupa karena begitu banyak keterlibatan kaum perempuan dalam wilayah produksi seni kerajinan terutama keramik dan tekstil (Heraty, 2003:146-147). Sanento Yuliman bahkan seperti telah mengisyaratkan hal itu lewat sebuah proposal yang sangat berharga dalam konsep “seni rupa atas dan seni rupa bawah”nya.[3]

Kurangnya kesadaran kritis terhadap medium dalam perkembangan seni rupa (modern) di Indonesia memang tidak menjadi pertimbangan berkarya banyak perupa secara umum. Padahal Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) telah mengisyaratkannya lewat manifesto serta praktek kekaryaan yang cenderung di luar kelaziman dan konvesi fine art pada saat itu. Perupa Dolorosa Sinaga menjelaskan bahwa “medium” seni rupa belum dilihat sebagai alat ekspresi untuk tujuan tertentu, kecuali sebagai medium ekspresi pribadi sehingga sulit menemukan kehadiran wacana seni rupa yang berbasis identitas ekspresi perempuan. Wacana dominan di Indonesia adalah kemanusiaan yang lebih mengarah pada persoalan sosial-politik dan permasalahan seni rupa masih terbatas pada gagasan visual saja, belum berakar pada tujuan atau membentuk pemikiran yang disampaikan melalui bahasa visual (Sinaga, 2003:124).

Secara eksplisit, Tita memang tak pernah mengguggat medium maupun jender sebagai suatu gerakan, tetapi karya-karyanya sejak awal selalu mempertimbangkan antara ekspresi dan mediumnya. Sesuatu hal yang selalu ada dan inheren dalam dirinya. Keseimbangan yang juga tercermin lewat kombinasi tema-tema, material karya dan metode kekaryaannya.

Ruang di Antara

Ada kecenderungan intersubjektivitas ketika ia memulai sesuatu atau menanggapi persoalan, di mana segala hal di luar dirinya seolah selalu harus menyentuh dan dekat dalam dirinya. Bisa dari persentuhan kehidupan pribadi di sekitarnya; suami, anak-anak, teman-teman dekatnya, bahkan aktivitas sosialnya sendiri yang cukup banyak. Intersubjektivitas adalah sesuatu yang datang dan hadir di antara orang-orang dan dalam budaya (Staniszwelski), 1995:158). Karyanya bukanlah hasil renungan yang bersifat self centered Cartesian, yang selalu menciptakan monolog dalam kesendirian. Ia berdialog lewat hati nurani dan kontemplasi dalam ruang di antara yang prubadi dan publik (interpersonal). Pencarian idiom yang tak terlalu verbal bahkan cenderung simbolik seperti janin, figur manusia, wajah, dan lainnya, mencerminkan kedekatan dan keintiman dengan tubuhnya, tetapi juga bisa mewakili persepsi yang paling umum. Begitupun dengan pemilihan dan penggunaan medium seperti keramik, logam, kaca, air, plastik, lemari, bahkan tubuh (performance), selalu mencari yang sesuai dengan apa yang ia ingin ungkapkan dan berusaha menciptakan jarak di antara ruang rasionalitas dan emosi. Ia memang tengah berdiri di antara irisan-irisan cinta dan benci, kemandirian dan ketergantungan, sakral dan profan, personal dan umum, bernada puitik dan politik, bersifat antara feminin dan maskulin. Tetapi di atas semua itu, karena ia adalah perempuan. maka seperti kata Simone de Beauvoir lagi, “Betapapun ia ingin mengunci pintu dan menutup jendela, ia tetap tak berhasil mendapatkan rasa aman yang sejati di dalam rumahnya”.

Apakah ia telah menemukan Tuhan di situ?

Jakarta 4 Januari 2004.


[1] Baca juga Giddens dalam Msyarakat Post Tradisional (Living in a post traditional society) terjemahan Ali NOer Zaman (IRCiSoD, Yogyakarta. 2003) terutama halaman 92-93.

[2] Di dunia seni rupa internasional tahun 1980an, beberapa perupa perempuan seperti Cindy Sherman, dan Sherrie Levine menggunakan fotografi sebagai media dengan manipulasi yang berbeda. Levine mereka ulang karya seni maestro fotografi modern semacam Edward Weston atau Walker Evans. Ia mempertanyakan bagaimana mitos kreatifitas dan nila absolut originalitas perupa berkaitan dengan isu-isu kemampuan produksi dalam dunia Seni Rupa Barat. Sementara itu Sherman membuat foto-foto dirinya sendiri dalam karakter dan posisi wanita stereotipikal, sebagaimana yang seringkali diperlihatkan dalam penggambaran budaya populer, misalnya dalam film-film dan iklan. Fotografi adalah medium yang termediasi. Terjadi proses mekanis dan kimiawi saat memproduksi gambar dari film negatid, sehingga tidak ada originalitas. Baca Staniszwelski, 1995 : 154 – 157.

[3] Baca juga esai “Dua Seni Rupa” dalam Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman halaman 23.

Bibliography:

  1. Wawancara dengan Tita Rubiati, Yogyakarta, Jakarta, 2003.
  2. Staniszwelski, Marry Anne. Believing is Seeing, Creating the Culture of Art. Penguin Books, USA, 1995.
  3. de Beauvoir, Simone. Second Sex. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia: Kehidupan Perempuan. By Toni B. Febriantono dan Nuraini Juliastuti. Pustaka Promethea, Yogyakarta 2003.
  4. Politik dan Gender. Aspek-aspek Seni Visual Indonesia. Yayasan Cemeti, Yogyakarta, 2003.
  5. Yuliman, Sanento. Dua Seni Rupa: Sepilihan Tulisan. Editor: Asikin Hassan. Yayasan Kalam, Jakarta, 2001.
  6. Jurnal Perempuan edisi 18, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2001.
  7. Giddens, Anthony. Runaway World: How Globalization is Re-shaping Our Lives. Profile Books, London, 1999.
  8. Giddens, Anthony dalam Masyarakat Post-Tradisional. Diterjemahkan dari Living in A Post-Traditional Society by Ali Noer Zaman. Diterbitkan oleh IRCiSoD, Yogyakarta, 2003.