Tuesday, October 14, 2008

Beauty and Terror: Pameran Seni Rupa Indonesia di Paris

Ini adalah salah satu dari beberapa artikel pertama yang saya terjemahkan untuk majalah Visual Arts. Artikel ini ditulis oleh Kunang Helmi untuk Visual Arts, 9 Desember 2005


Di tengah berbagai kegiatan rentree—jeda setelah akhir musim libur dan menandai juga dimulainya musim gugur di Perancis—Indonesia muncul menggugah di kancah seni.

Secara strategis, kedua pameran yang menyertakan duabelas orang Indonesia ini bertepatan dengan pekan seni FIAC yang dilaksanakan pada tanggal 8/9 Oktober, sehingga para peminat dan kolektor seni seakan disegarkan sebuah sumber inspirasi baru. Ini merupakan perubahan taktik dari promosi pariwisata konvensional.

Pameran tersebut, yang malam pembukaannya dihadiri oleh beberapa perupa ternama Indonesia seperti Astari Rasjid dan Pintor Sirait—juga mengetengahkan karya-karya sejawatnya, Agus Suwage, Yusra Martunus, Yunizar, Alfi, Eddy Hara, Agung Kurniawan, Ugo Untoro, Bambang Toko Wudarsono, FW Harsono dan Masryadi—sungguh telah membukakan mata para penikmat seni Eropa akan apa yang sesungguhnya tengah berlangsung di kancah seni kontemporer Indonesia.

Disadari oleh Jean-Marc Decrop yang berpindah tinggal antara Paris dan Hongkong, beliau dan rekannya Jean-Francois Roudillon lantas sepakat untuk memberikan kesempatan bagi sepuluh perupa tersebut unjuk gigi di Paris.

Jean-Marc Decrop, yang terbiasa berhadapan dengan maestro seni Eropa baik yang muda maupun tua, telah melebarkan sayapnya semenjak enam tahun yang lalu dengan merambah seni Cina kontemporer yang saat itu tak begitu terkenal di Barat namun kini sangat diburu. Tinggal di Hong Kong dan Paris, beliau menjadi sangat berpengalaman dalam menangani hal tersebut. Baru-baru ini Decrop sukses merancang sebuah acara pameran seni kontemporer di Jakarta, kolaborasi kerjasama antara Cina dan Indonesia dengan judul “On the Edge” di The Pakubuwono Residence pada tanggal 15 sampai 23 Mei 2004. Selain itu, beliau mengelola Galerie Loft di Paris dan Barcelona bersama dengan Roudillon. Dan kini atas keahliannya, para perupa Indonesia akan mendulang untung dari perkenalan dan pemberitaan tersebut dari pasar internasional.

Menurut Decrop, “Sangat penting untuk mendengarkan intuisi dan tak terlalu perduli pada trend. Seandainya saya tak mengikuti firasat saya bahwa seni Cina, dan kemudian Indonesia, adalah penting, tidak ada yang akan berani mulai menunjukkan trend baru yang sedang berkembang di Asia.”

Decrop and Roudillon mengatur tidak hanya satu, tapi dua pameran di Paris. Yang pertama di Galerie Loft di Rue des Beaux Arts yang terletak di Tepi Kiri Sungai Seine, di mana karya Rasjid, Sirait, dan Agus Suwage yang telah dibeli Decrop dan Roudillon tahun lalu, mendominasi pintu masuknya. Pameran lainnya dilaksanakan di aula besar Assurances & Conseils Saint-Honore (cabang Bank Rotschild) yang terletak di Avenue Matignon yang mewah di Tepi Kanan Sungai, tak jauh dari rumah lelang Christie’s.

Astari Rasjid, Pintor Sirait, Agus Suwage, Yusra Martunus, Yunizar, Alfi, Eddy Hara, Agung Kurniawan, Ugo Untoro, Bambang Toko Wudarsono, FX Harsono dan Masryadi dianggap mewakili ekspresi artistik seni Indonesia masa kini. Diantara semua perupa tersebut hanya Pintor Sirait yang menggeluti seni patung, sedangkan yang lain mendalami seni lukis.

Astari Rasjid nampak menonjol bukan hanya karena ia satu-satunya perupa wanita dalam pameran itu, namun karena karyanya nampak kental dengan pesan-pesan semi-politis, sehingga di Eropa ia disejajarkan dengan seniwati Meksiko, Frida Kahlo, yang juga gemar membuat berbagai jenis penggambaran diri sendiri. Namun, Rasjid merambah skala sosial luas yang mencakup dirinya sebagai bagian dari kaum “socialite” Indonesia, dirinya sebagai seorang perupa, dan juga dirinya sebagai seorang ibu.

Hanya Astari Rasjid dan Pintor Sirait yang dapat menghadiri pembukaan pameran di Paris tersebut. Selama dua minggu mereka diundang untuk tinggal di flat seorang kawan, dengan pemandangan indah taman Palais Royal yang bersebarangan dengan museum Louvre. Suasana yang sungguh menggugah inspirasi baru untuk proyek-proyek selanjutnya.

Jais Darga yang berasal dari Indonesia dan Pascal Lansberg, suaminya yang warga negara Perancis, juga menghadiri pesta pembukaan pameran yang dibanjiri champagne. Mereka berdua memiliki sebuah galeri di daerah Rue de Seine, dan baru saja pulang dari Bali di mana galeri Darga baru saja sukses memamerkan karya Basquiat. Segera pasangan ini membeli sebuah patung karya Sirait.

Seorang kolektor yang tak ingin disebutkan namanya, seorang figur elegan pemilik sejumlah kasino, begitu menyukai seni patung sehingga mungkin saja karya lain dari Sirait kembali terbeli pada malam pembukaan tanggal 30 September itu. Belum tercatat hasil penjualan, tapi ketertarikan terhadap karya lukis yang dipamerkan juga sangat tinggi. Kenyataan bahwa Indonesia telah memiliki tempat di atlas seni rupa memiliki andil penting dalam menentukan nilai komersilnya.

Menurut Decrop, seni rupa kontemporer Indoenesia mencakup isu-isu rumit seperti perubahan masyarakat tradisional dan proses modernisasi, ledakan konsumerisme dan bisnis, internet, beban urbanisme dan bencana ekologi, “orang kaya baru” dan isu-isu berkaitan dengan posisi wanita dalam sebuah masyarakat muslim, yang mana temanya diketengahkan tanpa ampun dalam karya para perupa. Bahkan ketelanjangan bukan lagi sebuah subjek yang tabu untuk dibicarakan.

Keduabelas perupa Indonesia di atas juga telah diundang ke Biennale di Venesia, Kwangju, Jakarta, Shanghai, dan Tirana. Sotheby’s dan Christie’s di Hong Kong dan Singapora, tak lupa rumah lelang Larasati, telah menjual karya-karya mereka. Sudah saatnya publik Perancis disuguhi karya-karya mereka yang dinamis dan menggugah.

Dari keduabelas perupa tersebut, mungkin Astari Rasjid dan Pintor Sirait yang paling kosmopolitan karena persamaan latar belakang dan pendekatan teoretis mereka terhadap seni. Rasjid yang berasal dari keluarga Jawa dibesarkan di India dan Burma, sedangkan Sirait yang Batak dilahirkan di Jerman, mendapatkan pendidikan di Amerika Serikat dan Jerman sebelum kembali ke Bandung. Rasjid sempat belajar di University of Minnesota dan mengambil kelas melukis di Royal College of Art di London di mana ketertarikannya akan isu-isu gender semakin besar. Sirait kini lebih banyak bekerja dengan logam, dalam bentuk-bentuk berbagai ukuran. Karyanya yang berukuran besar dan sedang dalam pengerjaan adalah sebuah monumen sepanjang 50 meter yang dipesan oleh Bandar Udara Changi.

Keduabelas perupa tersebut jelas akan memikat perhatian internasional, sedangkan di Indonesia sendiri karya mereka telah dianggap sebagai penting sebagai panutan bagi para generasi muda yang ingin bergelut dalam bidang seni. Meskipun kukuh berakar pada budaya Indonesia, mereka menjelajahi batas ekspresi tradisional dalam skala yang lebih besar di kanvas global. Berakhir sudah masa di mana ekspresi budaya yang melintasi garis batas tradisional dianggap non-Indonesia, atau non-Asia, atau dikekang oleh Orde Baru. Meskipun menjadikan seni sebagai sumber pendapatan masih dibayang-bayangi resiko eksistensial, para perupa ini memiliki keberanian untuk menghadapi semua resiko dan terus menghasilkan karya seni yang hebat.