Thursday, July 1, 2010

Legends: Soo Bin’s Portraits of Chinese Ink Masters (translation)

Tahun 2005-2008 saya banyak menerjemahkan artikel untuk majalah Visual Arts yang terbit di Indonesia. Salah satu penulis favorit saya adalah Zhuang Wubin. Menerjemahkan tulisan beliau sekaligus menambah pengetahuan saya tentang dunia fotografi seni. Berikut adalah salah satu hasil terjemahan dari artikel yang ditulis Zhuang Wubin untuk majalah Visual Art di tahun 2006. Seri Legends dipamerkan di Singapore Art Museum pada bulan April 2006


Dari 1985 hingga 1988, Chua Soo Bin melaksanakan proyek pibadinya memotret 14 master tinta cina paling berpengaruh dalam membentuk seni di Cina abad 20. Bolak-balik ke kediaman dan studio mereka di Singapura, Cina, Hong Kong, Taiwan, dan Amerika Serikat, Chua menghabiskan lebih dari 200 rol film menggunakan kamera Nikonnya. Jenis film yang sering dia pakai adalah ISO 1600, yang memberikan tekstur tegas dan berbintik pada foto-fotonya sehingga mirip lukisan tinta Cina. Seri tersebut pertama kali dipertunjukkan di Singapore Art Museum (SAM) pada 1989, dan diterbitkan sebuah buku fotografi berjudul Liuzhen: Portraits of Excellence. Bertahun-tahun kemudian, pameran tersebut mengunjungi kota-kota antara lain Hong Kong, Taipei, Beijing, Hangzhou, dan Chongqing. Awal tahun ini, fotografer Singapura tersebut menyumbangkan 18 foto dari seri tersebut kepada SAM. Untuk merayakan peristiwa ini, SAM memamerkan sumbangan tersebut dalam sebuah pameran berjudul “Legends: Soo Bin’s Portraits of Chinese Ink Masters” sejak 13 Maret hingga 4 April 2006. Pameran ini juga bersamaan dengan peluncuran ulang bukunya dalam edisi berbahasa Cina dan bahasa Inggris.

Dikarenakan popularitasnya yang hebat dan tanggapan positif, pameran itu lantas diperpanjang dan diperbanyak menjadi 28 potret dipamerkan dalam Soobin Art Iternational di 140 Hill Street di Singapura dari 30 April hingga 17 Mei.

Bila diperhatikan, proyek Chua untuk mendokumentasi para master tinta ini waktunya sangat tepat. Beberapa tahun setelahnya, Cina muncul kembali sebagai kekuatan ekonomi yang besar. Efeknya terasa di berbagai sektor, termasuk lingkungan seni Cina. Sekarang, konsumsi seni domestik dan ketertarikan kurator internasional yang mengikuti tren terus membangun ledakan dalam pasar seni Cina. Dalam konteks ini, karya Chua telah menjadi artefak sejarah bernilai tinggi, terutama bagi para kolektor yang mengikuti perkembangan karya master tinta yang dipotret dan bagi mereka yang tertarik secara serius pada seni Cina. Terlebih lagi, semenjak pameran tahun 1989, semua master tinta yang ditampilkan dalam proyek Chua telah meninggal dunia. Akan tetapi, tidak langsung jelas apalah kualitas artistik foto-foto itu sendiri mendapat penghargaan yang sama. Selama forum Mandarin yang diadakan sehubungan dengan pameran baru-baru ini, kebanyakan dialog antara fotografer dan pemirsa didominasi oleh ideosinkrasi dan kepribadian para master tinta tersebut, dan hanya sedikit membahas foto-foto Chua sebagai seni. Ini pasti agak mengecewakan, mengingat bahwa Chua sudah menerima banyak pengakuan selama karirnya sebagai seorang fotografer—menjadi Rekanan Royal Fotoic Society of the United Kingdom setidaknya semenjak 1955, dan menerima Singapore Cultural Medallion pada tahun 1985.

Pada saat yang bersamaan, sangat penting untuk dicatat bahwa foto-foto tersebut menunjukkan, lebih dari apa pun, cara Chua Soo Bin melihat subjeknya dan cara dia ingin mereka dikenang—jelas, dengan rasa kasih sayang dan hormat—oleh generasi masa depan. Meskipun material publikasi pameran memberi kesan pemirsa demikian, tetapi Chua tak selalu mengambil pendekatan jurnalisme foto. Bahkan, metodologi kerjanya cenderung seperti Russel Wong, seorang fotografer selebritas. Selama forum, fotografer ini mengisahkan bagaimana dia membawa Zhu Qizhan (1892–1996)—yang adalah master tinta tertua yang ditampilkan dalam proyek Chua—ke sebuah taman kanak-kanak sehingga dia bisa mendapat kontras muda dan tua dalam fotonya. Dalam kasus Guan Shanyue (1912-2000), Chua bahkan sampai mengundang seorang pematung untuk membuat patung dada sang master tinta dan memotretnya. Chua adalah seorang partisipan aktif, walaupun tersembunyi, dalam foto-fotonya.

“Fotografi tidak seperti film,” kata Chua Soo Bin yang berusia 74 dalam forum. “Sebagai seorang fotografer, saya harus membuat sebuah klimaks untuk tiap gambar.”

Karenanya, pendekatan Chua tidak sungguh-sungguh membuat foto-fotonya jadi kurang atau lebih “nyata”. Manipulasi selalu tersedia sebagai teknik, bahkan pada masa fotografi analog. Namun, seorang seniman yang menggunakan Photoshop bisa saja menciptakan gambar dunia “nyata” untuk pemirsanya dengan semangat yang sama seperti fotografer biasa. Sehingga, kewajiban jatuh kepada pemirsa untuk mempertanyakan integritas para perupa daripada mempercayai dengan buta keabsahan sebuah gambar.

Di sisi lain, terdapat banyak gambar dalam seri Chua yang menunjukkan derajat keintiman antara sang fotografer dan para seniman tersebut, yang jelas tak bisa dibuat-buat. Salah satu contohnya adalah foto Chua atas seniman perintis Singapura Chen Wen Hsi sedang membakar karyanya yang tidak memuaskan sehingga hanya tersisa yang terbaik untuk diwariskan. Melihat foto-foto Chua, sangat mudah bagi orang awam untuk memahami kesedihan yang mungkin dirasakan Chen saat menatap kobaran api.

Legends: Soo Bin’s Portraits of Chinese Ink Masters

During 2005-2008 I frequently translated articles for the Indonesian based Visual Arts magazine. One of my favorite correspondents was Zhuang Wubin. Translating his articles always gave me a glimpse of knowledge over the world of art photography. This is one of several Zhuang Wubin's article I translated for Visual Arts in 2006. The Legends series were exhibited in Singapore Art Museum in April 2006.



From 1985 to 1988, Chua Soo Bin embarked on his personal project of photographing 14 of the most influential ink masters who had shaped 20th-century Chinese art. Making numerous trips to their homes and studios in Singapore, China, Hong Kong, Taiwan and the United States, Chua shot more than 200 rolls of film using his Nikon camera. His preference was to use ISO 1600 film, which gives his images a stark and grainy texture that is rather similar to Chinese ink paintings. The series was first shown at Singapore Art Museum (SAM) in 1989 and a Chinese photographic book titled Liuzhen: Portraits of Excellence was published. Over the years, the exhibition travelled to cities like Hong Kong, Taipei, Beijing, Hangzhou and Chongqing, amongst others. Earlier this year, the Singaporean photographer donated 18 photographs from the series to SAM. To commemorate the occasion, SAM presented the donation in an exhibition titled “Legends: Soo Bin’s Portraits of Chinese Ink Masters” from 31 March to 4 April 2006. The exhibition also coincided with the re-launch of his book in both Chinese and English editions.

Due to overwhelming popularity and positive feedback, the exhibition has been extended and a larger selection of 28 portraits has been featured at Soobin Art International at 140 Hill Street in Singapore from 30 April to 17 May.

On hindsight, the timing of Chua’s project to document the ink masters was impeccable. A few years later, China would re-emerge as an economic powerhouse. The spillover effects would be felt in all sectors, including China’s art scene. Today, domestic “consumption” of art and the eagerness of international curators to jump on the bandwagon continue to fuel the boom in her art market. In this context, Chua’s images have become very valuable as historical artifacts, particularly to collectors who follow the works of the featured ink masters and those who have a serious interest in Chinese art. Moreover, since his exhibition in 1989, all the ink masters featured in Chua’s project have passed away. However, it is not immediately clear if the aesthetic or artistic qualities of the photos themselves are equally appreciated. During the Mandarin forum held in conjunction with the recent exhibition, much of the dialogue between the photographer and the audience was dominated by the idiosyncrasies and personalities of the ink masters, with very little discussion on Chua’s photographs as art. This must somewhat be a letdown, given the fact that Chua received many accolades throughout his career as a photographer – becoming an Associate of the Royal Photographic Society of the United Kingdom as early as 1955, and receiving the Singapore Cultural Medallion in 1985.

At the same time, it is crucial to note that the images show, more than anything, the manner in which Chua Boo Bin looked at his subjects and the way he would have liked them to be remembered – clearly, with affection and respect – by future generations. Much as the publicity materials of the exhibition would have liked the audience to believe, Chua does not always take the approach of a photojournalist. In fact, his working methodology is closer to that of Russel Wong, who is a celebrity photographer. During the forum, the photographer talked about how he brought Zhu Qizhan (1892–1996) – who was the oldest ink master featured in Chua’s project – to a kindergarten so that he could achieve a contrast of young and old through the portrait. In the case of Guan Shanyue (1912-2000), Chua even went to the extent of inviting a sculptor to make a bust of the ink master as he took pictures. Chua is very much an active, though hidden, participant of his images.

“Photography is unlike cinema,” said 74-year-old Chua Soo Bin during the forum. “As a photographer, I need to create a climax for each image.”

Having said that, Chua’s approach does not really make his images more or less “real”. Manipulation has always been available as a technique, even in the analog age of photography. However, an artist working on Photoshop may create images of the “real” world to his or her audience in the same spirit as an honest photojournalist. Therefore, the onus is on the audience to question the integrity of creators rather than to believe blindly in the sanctity of images. 

On the other hand, there are also many images in Chua’s series that reveal a level of intimacy between the photographer and the artists, which could not have been easily set up. One example is Chua’s photograph of Singapore pioneer artist Chen Wen Hsi burning his unsatisfactory works so that he would leave the best for posterity. Looking at Chua’s photograph, it is easy for a casual viewer to understand the anguish Chen must have felt as he looked on at the devouring flames.

Update / Pemutakhiran

I haven't updated this blog for two whole years, it's been sitting in the back of my conscience like a perpetually tiresome prick of awareness.

Although I have been neglecting this blog, it doesn't mean that I have stopped working on text; editing and translating. I wanted to blame my neglect on the jobs, but that would make me an ungrateful bird. So  I didn't. I think I won't blame anybody or anything.

As I promised (especially to myself), I am going to continue the blog by posting some of the translation works I've done in the past.

Mind you, these are raw texts, meaning: sometimes the original are the unedited version, or the translations are, or in most cases, both.

All of the original and translation works uploaded in this blog are already published. I would try to give credits on the text and/or images used accordingly.

Tuesday, October 14, 2008

Destroyer

This curatorial essay is written by Asikin Hasan for the solo art sculpture exhibition of Basrizal Bara. Translating this essay, I myself had never seen the works, nor the catalogues :D



A variety of stones, tons in weight, scattered in the front lawn of a residence serving also as a workshop in Yogyakarta. Onyx, marble, black granites, solidified wood fossils, all gathered from countless expeditions along the beaches and inlands of Java. The black granites, hunted by the sculptor Al Bara himself, said to being used by the Dutch colonial to break the waves in the port of Tanjung Mas centuries ago.

Questions arise when we observe the boulders of stones. What is it for? How did Al Bara transport it from a certain location to his house lawn? How many people needed to move them one by one, and how long did it take? It then leads to the question of numbers: How much does it cost before these boulders are finally made into a sculpture?

Of course from the contemporer sculpting art’s point of view, Al Bara’s steps are not only inefficient but also not economic. Our modern sculpting art, starting to rise in the 50s, had progressed significantly in the aspect of medium. The use of stone as a main media of sculpting art has been increasingly abandoned. This makes Al Bara a controversy in the contemporary sculpting art.

Indonesia has a relatively new history in the modern sculpting art, started by a number of painters exploring the 3-dimensional field to gain broader experience in visual arts. None of them had the basic knowledges of sculpting art. Affandi tried to build a self-portrait using only clay as a medium. Hendra Gunawan sculpted andesits, one of his works is a figure of the General Sudirman standing with one hand rested on a staff. Nowadays the self portrait sculpture could still be found in the Affandi Museum while the General Sudirman sculpture is still standing in front of the DPRD building in Yogyakarta.

The development of techniques and medium in the sulcpture art is not as advanced as the painting art, considering the complexity of it compared to other field of visual arts. For the first time in history, sculptor Edhi Soenarso bypassing the complexity by using metals in his works. During the 60s Soenarso received commissions from the first president of the Indonesian republic, Soekarno, to build monumental sculptures in a number of strategic spots in capital Jakarta. Among them are the Selamat Datang monument, Pembebasan Irian Barat, and the Dirgantara.

Big scaled monuments were then shrinking rapidly into small scaled metal sculptures. This quick change influenced other sculptors. Through the works of G. Sidharta Soegijo, But Muchtar, Rita Widagdo, Arsono, Nyoman Nuarta, and Dolorosa Sinaga, metal as a medium is getting more popular in the younger generation.

Contemporer sculpting art consciously exploits the revolusionary resources development. New inventions in the chemical industry producing diverse new mediums had made it easier for sculptors to create more various artworks.

The popular industry-made mediums are fibre glass or resin. Not only because of the economical value, it is also easier to work with, enabling mass production, and it’s open to the possibilities of coating using materials such as; brass, silver, bronze, etc., making it seem fully metal.

In the world of fast lanes driven by the industrial world, Al Bara chose the hard way. Spinning like a wheel, hauling bulge by bulge of stones, he perseveres in the most primitive medium in the history of sculpting art, ignoring economic and efficiency reasons. He’s not very much into artifical mediums such as resin although had experimented with it in the past.

Al Bara works are far from his Yogyakartan fellow sculptors tendencies. He reminds us of the age old traditions and works of sculptors in the past. Prompting us to imagine the crude and rigid primitive sculpture of menhirs, dolmens, or the stone henge in the Great Britain. A construction of massive boulders put on top one another. Perhaps Al Bara is one of the contemporary sculptors inheriting the ancient idealism.

After all the efforts of hoarding stones and thousands year old fossils, what is Al Bara’s next plan? People might think he would carve them inch by inch, as he was taught in the Sculpting Art Studio in the Department of Fine Art, Institut Seni Indonesia Yogyakarta. He was taught to respect nature and treat mediums with affection. A politeness in each step of shaping the raw structure into a delicate finished product. When the chisel hits the rock surface we deal with the momentum of change. We learn to control our emotions and bear patience with the process. The practice of sculpting art is not merely about shaping an object into something else. The deeper philosophy is about understanding life itself.

This simplicity is scarce within contemporary sculptors, and also in Al Bara’s practice with his works. This member of Indonesian Sculptor Association doesn’t chisel stone tediously, instead he chooses to severe the stone using electric chainsaw—commonly used in the industrial world, moving with high speed for instant production. In the hands of Al Bara, the solid boulder melts like a pudding.

If we are used to the natural process and enjoy sculpting art with its intensity of shapes like we do with light-shifts between dark and bright in photography, we won’t see it in Al Bara’s works. He was too straightforward. It’s hard to perceive the emotional connections between the sculptor as a subject and his environment as an object. Each is independent, with competitive tendencies to overrule one another. His works emanate machoism; the rugged, tough, often destructive character of men. Portraying the typical behaviour of modern men and his ambition to conquer the world.

Several of his works took opposition over the nature and character of the medium he uses. For example in Gunung, a 90x30x40 cm work, mixing gemstone with white lead, made in 2005. He defined the rhythm of nature by scratching the stone using a chainsaw. The contour dominates the natural lines of the stones itself. He demonstrated his power over his objects by not paying heed to the natural rhythm and pattern of the stone. He built his own universe on top of the medium’s. In other words, he constructs his own version of interpretation overlaying the norms of beauty. He tore apart our concensus of natural beauty.

Similar inclination can be seen in Joged Bersama, made of marbles on 2004 with the dimension of 100 x 200 x 45 cm. In this work he completely erased the medium’s character. His sole and only ambition was the theme and the stone was supressed to achieve it.

Furthermore, he has a disposition to violate the main aspects of the modern sculpting art such as plasticity, harmony, intensity and other normative tendencies. All his works often clash with general aesthetic values. In Jalan Surga, the 400 x 100 x 300 cm black granites and copper sculpture made in 2006, paradise is none like its common depiction in religious believes; gardens, ponds, beautiful angels, comfort and contentment. Al Bara delivered it in simple shapes, arid, with pain hidden within the connected shapes. The sculpture has two symmetrical staircases on each side, a round kerawang in between the stairs, with a medallion shape on the top. A contradiction of shapes perhaps meant to be a pair of positive and negative, in a glimpse it resembles vaginal and phallic shapes. He then bravely added footprints on the steps of the stair as part of the sculpture. Not knowing Al Bara, people would’ve mistaken him as an alien towards the principal of modern sculpting art, blindly breaking rules.

The question arises to whether breaking main stream sculpting art polities and rules were intentional. Perhaps he was worried or bored with the general tendencies. Or maybe it’s an uninhibited exploration to find new ways in the contemporary sculpting art. Al Bara works regularly displays contemporary art problems instead of presenting a completed art object. Is he really sculpting, or is he trying to define the fundamental of sculpting art?

Basrizal Al Bara was born in Bengkalis, Sumatra on 30 April 1966. Since his education in SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa) Padang in 1983, he was determined to choose art as his way of life. He proceeded by learning modern sculpting art in the Department of Fine Art ISI in 1988. As all young sculptors, his early works were figurative and realistic. A common tendency in the phase of technical studies over structure, anatomy, and understanding of shape plasticity.

His progress in the last decade had brought him to a wilder side, too wild even. We can still recognize figures in his worls, but it shifted as symbols, or he would only grab the main ideas as an abstraction of figures. Through stone as the main medium, sometimes mixed with other medias such as glass, metal or other objects, he explores uninhibited in sculpting art.

Sculpting art dramatic sides of volumes or solidity can no longer bee seen in most of his works, when in the practice of sculpting art it is what often exploited to differ it from two-dimensional works. The intuitive tendencies in his works show his efforts of finding his own path outside the common practice. His works brought us the strain between modern sculpting art with primitive or traditional sculptures.

In 2005, his work with 18 granites boulders, with the dimension of 360 x 160 x 200 cm, was titled Mengukur Bayang-Bayang. The title perhaps was inspired to a local saying from his homeland, “Measure the shadows as long as your own height”, speaking of modesty in doing something, of always measuring one’s own abilities with the goal one tries to achieve. In this work Al Bara confronted the aspects of modern art with the monumental primitive art. Figures are only a flat symbol without volumes. We recognize the figure through shapes implying a resemblance to human head and bodice. The flat figures for him are the symbolic shadows. The tons of granites, piled up to 4 meters tall, reminded us to the construction of Borobudur or other ancient temple in Java.

Al Bara’s works present the various forms he’d absorbed from many sources throughout the years, both natural and artificial. His passion and techniques are shown repeatedly, like in this exhibition also. His tendencies in Mengukur Bayang-Bayang, re-appears in Tumbuh Kembali, of wood fossil, granite and white lead, made in 2005 with the size 500 x 80 x 70 cm, the 300 x 60 x 40 cm wood fossil and granite sculpture made in 2006 and titled Berdua, and also the 300 x 40 x 30 cm Totem sculpted in 2005 on a wood fossil. The monumental aspect of these works obviously is influenced by primitive and traditional sculpting art.

Despite his wanderings and explorations, the shadow of figures never leaves his works. For example, the marble sculpture Perjalanan, sized 95 x 40 x 30 cm which he made in 2003, displays the impression of a walking figure. Different from other figures, this very expressive piece reveals limbs and details of hands. Even the figure’s coat was carefully sculpted to give the realistic impression of a breeze on a piece of fabric as the body moves.

Another example is Belahan Jiwa, the 300 x 40 x 60 granite sculpture made in 2006. Here the figure has no volume and nothing but flat. He only explores the negative and positive shapes. This tendency often appears in his works for the last couple of years.

Al Bara's works demonstrate a liberty unrestrained. The various stories in his works; Rumah di Kaki Bukit, Lingga dan Yoni, Penjaga Malam, Orang Kaya, Di Khayangan Ada Pesta, Gerbang Surga, seem to surpass the capacity of sculpting art itself. We always face a paradox when we face the works of Al Bara. Exactly where we can find his modesty and originality.

DESTROYER

Tulisan berikut ini adalah pengantar kuratorial yang ditulis oleh Asikin Hasan untuk pameran tunggal seni patung Basrizal Bara. Walau menerjemahkannya ke Bahasa Inggris, saya sendiri belum pernah melihat pamerannya ataupun katalognya :)



Bebatuan berbagai jenis, berton-ton beratnya, bergeletakan di halaman sebuah rumah sekaligus bengkel kerja di Yogyakarta. Onyx, marmer, granit hitam, fosil kayu yang membatu, dan lain sebagainya, semua diperoleh melalui pencarian berhari-hari di pelbagai kawasan pesisir dan pedalaman Jawa. Al Bara sang pematung dan pemburu bebatuan itu misalnya, menemukan granit hitam yang beberapa abad lalu konon dipergunakan kolonial Belanda untuk menahan pukulan ombak di kawasan pelabuhan Tanjung Mas.

Pelbagai pertanyaan muncul tatkala melihat himpunan bebatuan sebanyak itu. Untuk apa? Bagaimana Al Bara memindahkannya dari satu kawasan tertentu sampai ke halaman rumahnya? Berapa banyak orang dikerahkan untuk menggeser bebatuan itu satu persatu, dan berapa lama? Akhirnya semua pertanyaan akan berujung pada hitung-hitungan: Berapa sesungguhnya ongkos yang harus dikeluarkan sebelum bebatuan itu diolah menjadi sebuah patung?

Tentu saja, ditinjau dari ekonomi seni patung masa kini, langkah-langkah Al Bara itu disamping tak ekonomis, juga tak efisien. Sebab, seni patung modern kita yang mulai nampak gejala pertumbuhannya sejak akhir tahun 50-an, kini sudah mengalami kemajuan berarti dari segi medium. Menggunakan batu selaku medium utama seni patung justru semakin ditinggalkan orang. Dilihat dari situ saja sudah tampak kontroversinya Al Bara dalam kancah seni patung masa kini.


**

Sejarah seni patung modern Indonesia terbilang masih muda, dimulai oleh sejumlah pelukis. Ketika itu mereka mencoba mempraktikkan karya-karya trimatra untuk mendapatkan pengalaman baru di bidang seni rupa. Semua tanpa dibekali pengetahuan memadai mengenai prinsip dasar seni patung. Affandi mencoba membangun patung potret diri dengan medium tunggal tanah liat. Hendra Gunawan, memahat batu andesit, antara lain menggambarkan Jenderal Sudirman berdiri dengan sebelah tangannya bertumpu pada sebuah tongkat. Kini patung potret diri itu disimpan di Museum Affandi, dan patung Jenderal Sudirman masih berdiri kokoh di depan gedung DPRD Yogyakarta.

Namun, perkembangan seni patung, baik dari segi medium maupun dalam bidang teknik, tak sederas bidang seni lukis. Masuk akal, sebab dilihat dari aspek apa saja, seni patung jauh lebih berselit-belit dibanding bidang seni rupa lainnya. Untuk pertama kali dalam sejarah, pematung Edhi Soenarso memotong jalan dengan menggunakan logam pada karya-karyanya. Di era 60-an Edhi banyak mendapat pesanan dari presiden RI pertama, Soekarno, membangun patung-patung monumen di sejumlah titik strategis ibukota Jakarta, antara lain; Selamat Datang, Pembebasan Irian Barat, dan Dirgantara.

Tumbuh dari patung-patung monumen dalam skala besar itulah kemudian, bergerak cepat ke bawah, menuju patung-patung logam dalam skala kecil. Perubahan ini cepat membawa pengaruh di kalangan para pematung lain. Belakangan lewat karya-karya G. Sidharta Soegijo, But Muchtar, Rita Widagdo, Arsono, Nyoman Nuarta, Dolorosa Sinaga, kemudian diikuti pematung dari generasi lebih muda, medium logam makin populer.

Seni patung modern sangat sadar memanfaatkan perkembangan revolusioner di bidang bahan. Penemuan dalam industri kimia yang menghasilkan macam-macam medium telah memudahkan pekerjaan para pematung masa kini. Selain makin banyak pilihan, kehadiran medium-medium baru itu membuat karya-karya menjadi lebih beragam.

Beberapa medium produk industri yang paling banyak dipakai dan digemari para pematung adalah fibre glass atau resin. Di samping harganya memang murah dibanding material industri lainnya, pengolahan serat gelas lebih mudah, dan patung dapat diproduksi lebih cepat Bahkan terbuka kemungkinan luas untuk dilapisi dengan material lain; kuningan, perak, perunggu, dan seterusnya, sehingga material aslinya tak tampak lagi, seolah-olah material itu sepenuhnya terbuat dari logam.

Di tengah segala-galanya yang bergerak dengan cepat dan digiring menuju ke satu jalur yang mudah oleh dunia industri, Al Bara justru menempuh jalan sulit. Berputar bak kumparan, menghela sepenuh tenaga bongkah demi bongkah bebatuan, Ia berkutat pada medium paling primitif dalam tradisi seni patung sepanjang sejarah. Menganggap sepi perkembangan medium dalam seni patung, cenderung mengabaikan soal untung rugi dan efisiensi. Ia tak begitu tertarik pada medium artifisial seperti resin, kendati pernah mencobanya untuk beberapa karya.

Karya-karya Al Bara jauh dari kecenderungan karya rekan-rekan seprofesi di Yogyakarta. Ia mengingatkan kita pada tradisi para pematung dan karya-karya di masa silam. Kita membayangkan menhir, dolmen, patung-patung primitif yang kaku, dan kasar. Atau stone henge di Inggris, balok-balok batu besar dan berat, ditumpangkan pada batu lainnya yang ditegakkan selaku konstruksinya. Semua berasal dari alam, dan ditempatkan di alam terbuka. Mungkin Al Bara adalah salah satu pematung masa kini yang menyisakan idealisme para pematung masa silam itu.


**


Mengumpulkan dengan susah payah bebatuan dan fosil berusia ribuan tahun, apa selanjutnya yang akan dilakukan oleh Al Bara? Mungkin banyak orang mengira ia akan memahatnya perlahan inci demi inci, sebagaimana praktik seni pahat yang dipelajarinya di Studio Seni Patung FSRD-ISI, Yogyakarta.

Dalam pendidikan seni patung diajarkan bagaimana berlaku khidmad pada alam dan memberlakukan medium dengan penuh cinta kasih. Ada kesantunan yang dilakukan secara bertahap dan perlahan, mulai dari membentuk struktur awal yang kasar hingga menjadi bentuk akhir yang halus.

Sekali mata pahat menancap pada dinding batu, ketika itu pula kita berhadapan dengan momentum sebuah perubahan. Kita belajar mengendalikan emosi, dan berlaku sabar pada tiap prosesnya. Praktik mematung pada hakekatnya bukan semata membentuk sesuatu, tapi mengenal hakekat dari obyek yang tengah kita ubah wujud fisiknya; dari apa adanya menjadi sesuatu yang lain. Lebih jauh lagi adalah upaya memahami kehidupan itu sendiri.

Kebersahajaan serupa itu nampak makin menjauh di kalangan pematung masa kini, pun pada praktik yang diperlihatkan oleh Al Bara dalam karya-karyanya. Anggota Asosiasi Pematung Indonesia (API) ini tak menyapa bebatuan itu dengan mata pahat dan palu secara perlahan, melainkan melukainya dengan gigi-gigi gergaji—perkakas listrik yang biasa dipakai untuk kepentingan dunia industri, bergerak dengan kecepatan sangat tinggi, dan menyelesaikan segala-galanya dengan cepat. Di tangan Al Bara, dalam sekejap bagian demi bagian bebatuan padat itu bak sepotong kue nan teriris.

Apabila kita terbiasa pada sebuah proses alamiah, dan menikmati seni patung dengan intensitas bentuk sebagaimana kita menikmati rambatan cahaya pada fotografi dari yang terang menuju gelap atau sebaliknya, maka kita tak menemukan hal itu pada karya-karya Al Bara. Ia terlalu lugas untuk berlaku seperti itu. Pada karya-karyanya, sulit kita menangkap getaran hubungan emosional antara sang pematung selaku subyek, dengan alam di luar dirinya selaku obyek. Masing-masing berdiri sendiri-sendiri, dan yang satu cenderung menaklukkan yang lainnya. Karya-karyanya membersitkan semangat macho, perilaku dunia lelaki yang keras, kasar, dan kalau perlu menghancurkan. Tergambar di situ kurang lebih, perilaku manusia modern umumnya yang selalu berambisi menaklukkan seisi alam.

Lihat beberapa karyanya, mengambil sikap berlawanan arah dengan sifat dan karakter pada medium yang dipakainya. Ambil contoh karya berjudul “Gunung”, terbuat dari batu mulia (gemstone) campur timah putih, berukuran 90X30X40 sentimeter, bertarikh 2005. Di situ, Al Bara mencoba menafsir irama alam dengan menerakan sejumlah guratan gergaji pada dinding batu. Guratan itu membentuk garis-garis yang sangat dominan, hingga mengalahkan barik yang melekat pada tubuh batu itu sendiri. Ia melihatkan kuasa dirinya atas obyek ditangannya, dan sama sekali tak memperdulikan kontur atau irama barik pada batu tersebut. Dibangunnya alam sendiri di atas alam mediumnya. Dengan kata lain, di atas keindahan yang normatif ia membangun keindahan lain menurut tafsir bebasnya. Alam yang sudah kita sepakati memiliki keindahan sudah habis dilucuti oleh Al Bara pada saat itu.

Kecenderungan serupa nampak pada “Joged Bersama”, karya terbuat dari marmer, berukuran 100X 200X 45 sentimeter, bertarikh 2004. Pada karya ini, karakter medium justru dilenyapkan sama sekali. Kesukaannya pada tema yang dimaksud, dikejarnya habis-habisan agar segera terwujud. Dan, batu selaku medan pergulatannya tak berdaya apa-apa. Di situ medium benar-benar berdiri sebagai obyek yang terjajah, tanpa suara untuk menyatakan dirinya.

Lalu, aspek utama dalam seni patung modern semisal plastisitas, harmoni, intensitas, dan kecenderungan normatif lainnya, kerapkali diruntuhkan pula oleh Al Bara. Segala karyanya cenderung membenturkan diri pada estetika yang umum. Lihat misalnya “Jalan Surga”, karya terbuat dari granit hitam dan tembaga, berukuran 400X100X300 sentimeter, bertarikh 2006. Surga yang dimaksud bertolak belakang dengan cerita-cerita paling tidak pada agama samawi yaitu; taman, air, bidadari cantik, segala hal yang serba nyaman, dan menyenangkan. Al Bara justru menghadirkan bentuk-bentuk sederhana, terasa kering dan hubungan bentuk satu dengan lainnya seperti menyimpan rasa sakit. Patung itu digambarkan secara simetris dua sisi anak tangga di kiri dan kanan. Persis di tengahnya sebidang bentuk dengan bulatan kerawang. Dari atasnya menyembul suatu bentuk seperti bandul. Bentuk-bentuk yang saling berlawanan, atau mungkin sebagai sebuah pasangan; positif dan negatif. Sekilas menyerupai simbol lingga dan yoni. Kemudian Al Bara ringan saja memberi tera telapak kaki pada undak-undak yang merupakan bagian pada patung tersebut. Kita mungkin terperangah oleh keputusan itu. Kalau tak kenal Al Bara, kita segera membayangkan bahwa, orang ini tak mengerti prinsip seni patung modern. Ia menabrak sana sini, mengabaikan aturan main.

Persoalannya tentu saja, apakah semua ini suatu kesengajaan dari sang pematungnya. Sebuah keisengan untuk mengganggu arus utama seni patung yang selama ini terlalu manis dan santun. Mungkinkah ia risau dan bosan dengan kecenderungan yang itu-itu saja. Atau suatu penjelajahan bebas tanpa batas, sebuah eksperimentasi dalam dunia seni kontemporer, untuk menemukan jalan baru, jalan lain seni patung masa kini. Kerapkali karya-karya Al Bara yang sampai dihadapan kita, lebih terasa membentangkan setumpuk masalah seni masa kini, ketimbang penyelesaian sebuah obyek perupaan. Apakah ia membuat seni patung, atau justru tengah mempertanyakan hakekatnya yang lebih mendasar.


**


Basrizal Al Bara, demikian nama lengkapnya, lahir di Bengkalis, Sumatra, 30 April 1966. Sejak memasuki SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa) Padang (1983), ia terus memantapkan pilihan pada dunia seni rupa. Selanjutnya ia mendalami pendidikan seni patung modern pada Jurusan Seni Murni FSRD ISI (1988). Sebagaimana umumnya pematung muda, semula karya-karyanya bercorak figuratif dan realis. Kecenderungan serupa ini wajar, sebuah tahap pengenalan teknis yang berkaitan dengan struktur, anatomi, dan pemahaman akan plastisitas bentuk.

Perkembangan satu dekade belakangan ini telah mengantarkannya pada kecenderungan yang lebih bebas, bahkan mungkin terlalu liar. Beberapa sosok memang masih kita temukan pada karya-karyanya, namun sosok-sosok tersebut bergeser selaku simbol-simbol, atau ia hanya menangkap garis besarnya saja selaku sebuah abstraksi dari figur. Melalui medium utama batu, kadang-kadang dicampur dengan pelbagai media lain, seperti; kaca, logam, dan obyek, ia melakukan penjelajahan tak terbatas ke dalam seni patung.

Sisi-sisi dramatik pada seni patung lewat kehadiran volume atau kepejalan, belakangan ini tak kita lihat pada sebagian besar karya-karya Al Bara. Dalam praktik seni patung justru kepejalan itulah yang lazim di eksploitasi habis-habisan. Itu pula yang membedakannya secara mendasar dengan karya-karya dwimatra. Kecenderungan intuitif pada karya-karya Al Bara, memperlihatkan upayanya menemukan jalan sendiri di luar praktik yang umum. Karya-karyanya mengantarkan kita pada tegangan antara seni patung modern dan patung-patung primitif atau patung-patung tradisional.

Perhatikan karya berjudul: “Mengukur Bayang-Bayang”, terbuat dari 18 balok batu granit, berukuran 360X160X200 sentimeter, bertarikh 2005. Judul pada karya ini agaknya terinspirasi dari pepatah yang memang sangat kaya di kampung halaman Al Bara. Lengkapnya berbunyi: Ukurlah Bayang-Bayang Sepanjang Badan, maksudnya agar setiap orang senantiasa rendah hati dalam berbuat sesuatu, selalu mengukur antara kemampuan dan tujuan yang hendak dicapai.

Dalam karya ini kita melihat upaya Al Bara mempertemukan aspek seni modern dan semangat pada seni primitif yang monumental. Di situ sosok hanya merupakan sebuah simbol yang datar tanpa volume. Kita tahu kehadiran sosok di situ hanya lewat beberapa isyarat bentuk yang menyerupai blabar kepala dan tubuh manusia. Melalui bentuk sosok yang datar ini pula, Al Bara menemukan bentuk sebaliknya yang kerawang. Secara simbolis tentu saja dimaksudkannya sebagai bayang-bayang. Bebatuan yang beratnya berton-ton pada karya tersebut, ditumpuk-tumpuk mencapai hampir 4 meter. Konstruksinya bertumpu dari satu batu dengan batu lainnya, mengingatkan kita pada sistem kunci pada konstruksi batu pada bangunan Borobudur atau candi-candi lain di Jawa.

Karya-karya Al Bara memperlihatkan keragaman bentuk yang diserapnya dari pelbagai sumber lampau maupun kini, alam maupun buatan. Namun semangat maupun teknik memperlihakan alur yang sama, sebaimana terlihat dalam pameran ini. Misalnya kecenderungan seperti pada karya “Mengukur Bayang-Bayang”, diulang kembali pada karya “Tumbuh Kembali” yang terbuat dari fosil kayu, batu granit, dan timah putih, berukuran 500X80X70 sentimeter, bertarikh 2005, dan “Berdua” yang terbuat dari fosil kayu dan batu granit, berukuran 300X60X40 sentimeter, bertarikh 2006, “Totem”, terbuat dari fosil kayu, berukuran 300X40X30 sentimeter, bertarikh 2005, Aspek monumental pada karya-karya ini, jelas sekali dicerap dari seni patung primitif dan patung tradisional.

Walau bergerak kemana-mana dan pelbagai percobaan dilakukannya, toh bayangan figur nampak tak pernah pergi dari karya-karyanya. Karya berjudul “Perjalanan” yang terbuat dari marmer, berukuran 95X40X30 sentimeter, bertarikh 2003, menggambarkan sosok dalam kesan berjalan. Berbeda dengan sosok lainnya, karya yang nampak ekspresif ini dengan tegas memperlhatkan bagian tubuh dan detail tangan. Bahkan jubah yang terpasang pada sang sosok digarap sedemikian rupa, seolah-olah representasi kain tertiup angin pada tubuh yang tengah bergerak.

Bandingkan misalnya dengan “Belahan Jiwa”, karya terbuat dari batu granit, berukuran 300X40X60 sentimeter, bertarikh 2006. Di sini sosok ditampilkan datar, tanpa volume, ia hanya memain-mainkan bentuk-bentuk positif dan negatif. Dalam dua tahun belakangan, kecenderungan sosok seperti ini, kerapkali muncul dalam karya-karyanya.

Karya-karya Al Bara menunjukkan ungkapan-ungkapan bebas, tak terbatas. Pelbagai cerita pada karya-karyanya; Rumah di Kaki Bukit, Lingga dan Yoni, Penjaga Malam, Orang Kaya, Di Khayangan Ada Pesta, Gerbang Surga, terasa melampaui kemampuan yang dapat ditampung oleh seni patung itu sendiri. Selalu muncul paradoks ketika kita berhadapan dengan karya-karya Al Bara. Tapi, justru di situ pula agaknya kita menemukan kejujuran dan orisinalitasnya.

Beauty and Terror: Pameran Seni Rupa Indonesia di Paris

Ini adalah salah satu dari beberapa artikel pertama yang saya terjemahkan untuk majalah Visual Arts. Artikel ini ditulis oleh Kunang Helmi untuk Visual Arts, 9 Desember 2005


Di tengah berbagai kegiatan rentree—jeda setelah akhir musim libur dan menandai juga dimulainya musim gugur di Perancis—Indonesia muncul menggugah di kancah seni.

Secara strategis, kedua pameran yang menyertakan duabelas orang Indonesia ini bertepatan dengan pekan seni FIAC yang dilaksanakan pada tanggal 8/9 Oktober, sehingga para peminat dan kolektor seni seakan disegarkan sebuah sumber inspirasi baru. Ini merupakan perubahan taktik dari promosi pariwisata konvensional.

Pameran tersebut, yang malam pembukaannya dihadiri oleh beberapa perupa ternama Indonesia seperti Astari Rasjid dan Pintor Sirait—juga mengetengahkan karya-karya sejawatnya, Agus Suwage, Yusra Martunus, Yunizar, Alfi, Eddy Hara, Agung Kurniawan, Ugo Untoro, Bambang Toko Wudarsono, FW Harsono dan Masryadi—sungguh telah membukakan mata para penikmat seni Eropa akan apa yang sesungguhnya tengah berlangsung di kancah seni kontemporer Indonesia.

Disadari oleh Jean-Marc Decrop yang berpindah tinggal antara Paris dan Hongkong, beliau dan rekannya Jean-Francois Roudillon lantas sepakat untuk memberikan kesempatan bagi sepuluh perupa tersebut unjuk gigi di Paris.

Jean-Marc Decrop, yang terbiasa berhadapan dengan maestro seni Eropa baik yang muda maupun tua, telah melebarkan sayapnya semenjak enam tahun yang lalu dengan merambah seni Cina kontemporer yang saat itu tak begitu terkenal di Barat namun kini sangat diburu. Tinggal di Hong Kong dan Paris, beliau menjadi sangat berpengalaman dalam menangani hal tersebut. Baru-baru ini Decrop sukses merancang sebuah acara pameran seni kontemporer di Jakarta, kolaborasi kerjasama antara Cina dan Indonesia dengan judul “On the Edge” di The Pakubuwono Residence pada tanggal 15 sampai 23 Mei 2004. Selain itu, beliau mengelola Galerie Loft di Paris dan Barcelona bersama dengan Roudillon. Dan kini atas keahliannya, para perupa Indonesia akan mendulang untung dari perkenalan dan pemberitaan tersebut dari pasar internasional.

Menurut Decrop, “Sangat penting untuk mendengarkan intuisi dan tak terlalu perduli pada trend. Seandainya saya tak mengikuti firasat saya bahwa seni Cina, dan kemudian Indonesia, adalah penting, tidak ada yang akan berani mulai menunjukkan trend baru yang sedang berkembang di Asia.”

Decrop and Roudillon mengatur tidak hanya satu, tapi dua pameran di Paris. Yang pertama di Galerie Loft di Rue des Beaux Arts yang terletak di Tepi Kiri Sungai Seine, di mana karya Rasjid, Sirait, dan Agus Suwage yang telah dibeli Decrop dan Roudillon tahun lalu, mendominasi pintu masuknya. Pameran lainnya dilaksanakan di aula besar Assurances & Conseils Saint-Honore (cabang Bank Rotschild) yang terletak di Avenue Matignon yang mewah di Tepi Kanan Sungai, tak jauh dari rumah lelang Christie’s.

Astari Rasjid, Pintor Sirait, Agus Suwage, Yusra Martunus, Yunizar, Alfi, Eddy Hara, Agung Kurniawan, Ugo Untoro, Bambang Toko Wudarsono, FX Harsono dan Masryadi dianggap mewakili ekspresi artistik seni Indonesia masa kini. Diantara semua perupa tersebut hanya Pintor Sirait yang menggeluti seni patung, sedangkan yang lain mendalami seni lukis.

Astari Rasjid nampak menonjol bukan hanya karena ia satu-satunya perupa wanita dalam pameran itu, namun karena karyanya nampak kental dengan pesan-pesan semi-politis, sehingga di Eropa ia disejajarkan dengan seniwati Meksiko, Frida Kahlo, yang juga gemar membuat berbagai jenis penggambaran diri sendiri. Namun, Rasjid merambah skala sosial luas yang mencakup dirinya sebagai bagian dari kaum “socialite” Indonesia, dirinya sebagai seorang perupa, dan juga dirinya sebagai seorang ibu.

Hanya Astari Rasjid dan Pintor Sirait yang dapat menghadiri pembukaan pameran di Paris tersebut. Selama dua minggu mereka diundang untuk tinggal di flat seorang kawan, dengan pemandangan indah taman Palais Royal yang bersebarangan dengan museum Louvre. Suasana yang sungguh menggugah inspirasi baru untuk proyek-proyek selanjutnya.

Jais Darga yang berasal dari Indonesia dan Pascal Lansberg, suaminya yang warga negara Perancis, juga menghadiri pesta pembukaan pameran yang dibanjiri champagne. Mereka berdua memiliki sebuah galeri di daerah Rue de Seine, dan baru saja pulang dari Bali di mana galeri Darga baru saja sukses memamerkan karya Basquiat. Segera pasangan ini membeli sebuah patung karya Sirait.

Seorang kolektor yang tak ingin disebutkan namanya, seorang figur elegan pemilik sejumlah kasino, begitu menyukai seni patung sehingga mungkin saja karya lain dari Sirait kembali terbeli pada malam pembukaan tanggal 30 September itu. Belum tercatat hasil penjualan, tapi ketertarikan terhadap karya lukis yang dipamerkan juga sangat tinggi. Kenyataan bahwa Indonesia telah memiliki tempat di atlas seni rupa memiliki andil penting dalam menentukan nilai komersilnya.

Menurut Decrop, seni rupa kontemporer Indoenesia mencakup isu-isu rumit seperti perubahan masyarakat tradisional dan proses modernisasi, ledakan konsumerisme dan bisnis, internet, beban urbanisme dan bencana ekologi, “orang kaya baru” dan isu-isu berkaitan dengan posisi wanita dalam sebuah masyarakat muslim, yang mana temanya diketengahkan tanpa ampun dalam karya para perupa. Bahkan ketelanjangan bukan lagi sebuah subjek yang tabu untuk dibicarakan.

Keduabelas perupa Indonesia di atas juga telah diundang ke Biennale di Venesia, Kwangju, Jakarta, Shanghai, dan Tirana. Sotheby’s dan Christie’s di Hong Kong dan Singapora, tak lupa rumah lelang Larasati, telah menjual karya-karya mereka. Sudah saatnya publik Perancis disuguhi karya-karya mereka yang dinamis dan menggugah.

Dari keduabelas perupa tersebut, mungkin Astari Rasjid dan Pintor Sirait yang paling kosmopolitan karena persamaan latar belakang dan pendekatan teoretis mereka terhadap seni. Rasjid yang berasal dari keluarga Jawa dibesarkan di India dan Burma, sedangkan Sirait yang Batak dilahirkan di Jerman, mendapatkan pendidikan di Amerika Serikat dan Jerman sebelum kembali ke Bandung. Rasjid sempat belajar di University of Minnesota dan mengambil kelas melukis di Royal College of Art di London di mana ketertarikannya akan isu-isu gender semakin besar. Sirait kini lebih banyak bekerja dengan logam, dalam bentuk-bentuk berbagai ukuran. Karyanya yang berukuran besar dan sedang dalam pengerjaan adalah sebuah monumen sepanjang 50 meter yang dipesan oleh Bandar Udara Changi.

Keduabelas perupa tersebut jelas akan memikat perhatian internasional, sedangkan di Indonesia sendiri karya mereka telah dianggap sebagai penting sebagai panutan bagi para generasi muda yang ingin bergelut dalam bidang seni. Meskipun kukuh berakar pada budaya Indonesia, mereka menjelajahi batas ekspresi tradisional dalam skala yang lebih besar di kanvas global. Berakhir sudah masa di mana ekspresi budaya yang melintasi garis batas tradisional dianggap non-Indonesia, atau non-Asia, atau dikekang oleh Orde Baru. Meskipun menjadikan seni sebagai sumber pendapatan masih dibayang-bayangi resiko eksistensial, para perupa ini memiliki keberanian untuk menghadapi semua resiko dan terus menghasilkan karya seni yang hebat.

Beauty and Terror: Indonesian Artists on show in Paris

This is one of the first few articles I translated for the Visual Arts Magazine. This article is written by Kunang Helmi for Visual Arts, 9 December 2005


Amidst the varied activities of the ‘rentree’ —the month after the holidays end and when autumn begins here in France—Indonesia made a big splash on the artistic scene.

Strategically, the two shows featuring the twelve Indonesians was held coincided with the FIAC art fair held on the weekend of 8/9th October. Buyers and collectors were thus alerted to a new source of inspiration, a welcome change from conventional tourism tactics.

In the presence of renowned Indonesian artists Astari Rasjid and Pintor Sirait at the openings the shows—also featuring their colleagues, Agus Suwage, Yusra Martunus, Yunizar, Alfi, Eddy Hara, Agung Kurniawan, Ugo Untoro, Bambang Toko Wudarsono, FW Harsono and Masryadi—opened the eyes of sophisticated European art connoisseurs to what was happening in the Indonesian contemporary art scene.

Discovered by Jean-Marc Decrop who lives between Paris and Hong Kong, he and his associate Jean-Francois Roudillon decided to give the ten artists a boost in Paris.

Jean-Marc Decrop, who used to deal with old and contemporary European masters, has branched out six years ago with Chinese contemporary art, hitherto unknown in the west, but now much sought after. Traveling between Hong Kong and Paris, he was well equipped to deal with the subject. Recently Decrop staged a successful joint Chinese – Indonesian contemporary art show in Jakarta, called “On the Edge” at The Pakubuwono Residence from 15 to 23 May 2004. Together, he and Roudillon run Galerie Loft in Paris and in Barcelona. Thanks to his flair, Indonesian artists will profit from welcome and over-due exposure on the international market.

Decrop said, “It is important to follow one’s intuition and not be impressed by the fashion. Had I not heeded my feeling that contemporary Chinese, and then Indonesian, art was crucial, nobody here would have dared to start showing the new trends in Asia.”

Decrop and Roudillon organized not only one, but two exhibitions in Paris: one at Galerie Loft on the Rue des Beaux Arts on the Left Bank and the other at the huge entrance hall of Assurances & Conseils Saint-Honore (associated with Rotschild Banque) located on swanky Avenue Matignon on the Right Bank near Christie’s. Works by Rasjid, Sirait and Agus Suwage, which Decrop and Roudillon already bought last year, dominates the entrance of the Galerie Loft on the Left Bank.

Astari Rasjid, Pintor Sirait, Agus Suwage, Yusra Martunus, Yunizar, Alfi, Eddy Hara, Agung Kurniawan, Ugo Untoro, Bambang Toko Wudarsono, FX Harsono and Masryadi are thus ambassadors of contemporary Indonesian artistic expression. While Pintor remains the only sculptor among this group, the others explore various facets of painting techniques.

Astari Rasjid stands out not only because she is a woman, but also because she seems determined to deliver a semi-political message, as well as being likened in Europe to her Mexican predecessor, Frida Kahlo, who also preferred self-portraits of various kinds. However, Rasjid spans a wide social scale between being an Indonesian ‘socialite’ of sorts, an artist and a mother.

Astari Rasjid and Pintor Sirait were the only ones able to attend the opening in Paris. They were invited to stay at a friend’s flat overlooking the lovely gardens of Palais Royal opposite the Louvre for two weeks, soak in the atmosphere for inspiration, to be able to begin new projects.

Indonesian Jais Darga and her French husband Pascal Lansberg who jointly own a gallery in the neighboring Rue de Seine also attended the openings celebrated with flowing champagne. They had just flown back from Bali where the Darga gallery had featured Basquiat in a popular exhibition and they soon bought a sculpture by Sirait.

One anonymous collector, who also owns many casinos and is an elegant figure, loves sculptures, so that Pintor may have sold other pieces on opening night last 30 September. The deal was not yet concluded, but interest in paintings was also high. The fact that Indonesia is now firmly placed on the artistic atlas is of extreme importance for their commercial value.

According to Decrop, Indonesian contemporary art concerns burning issues such as transformation of traditional societies and the modernization process, the explosion of consumerism and business, internet, burgeoning urbanism and ecological disasters, the ‘new rich’ and issues concerning the position of women in traditional Muslim society are themes treated without shame in these artists’ work. Even nudity is no longer a taboo subject.

The twelve have been invited to the Biennales in Venice, Kwangju, Jakarta, Shanghai and Tirana. Sotheby’s and Christie’s in Hong Kong and Singapore, not forgetting Larasati auction house, have auctioned their work. It was high time that the French public was introduced to their dynamic and thought-provoking ‘oeuvre’.

Of the twelve, perhaps Astari Rasjid and Pintor Sirait are the most cosmopolitan as they have been mostly educated abroad and share certain similarities in their theoretical approach to art. Javanese Rasjid grew up partly in India and Burma, while Batak Sirait was born in Germany and was educated in the United States and Germany before returning to Bandung. Rasjid went to school at the University of Minnesota and took a painting course at the Royal College of Art in London where her penchant for gender issues was fortified. Sirait now mainly works with metal, in pieces of varying sizes. His current big work in progress is a 50-meter long sculpture commissioned by Changi airport.

The twelve are thus clearly on the way to a global audience, while in Indonesia, their work have been considered pivotal for the younger generation who consider art as their possible future profession. While firmly anchored in Indonesian culture, they all explore the limits of traditional artistic expressions, extended on a larger global canvas. Gone are the days when over-stepping traditional cultural expression was considered non-Indonesian, or non-Asian, and frowned upon by the so-called New Order. Although being able to make a living from art is still fraught with existential hazards, these artists have the courage to affront the dangers and continue producing valid art forms.