Bahasa ibu saya adalah Bahasa Indonesia, tetapi semenjak usia belia saya diperkenalkan pada Bahasa Inggris. Kini selain secara lisan, saya juga menggunakan Bahasa Inggris secara aktif dalam tulisan. Saat kuliah adalah pertama kalinya saya menggunakan kemampuan dwi-bahasa saya untuk menerjemahkan teks.
Sementara itu, saya mulai mengenal dunia seni rupa (dengan tidak terlalu mendalam ataupun sempurna) ketika usia saya 22 tahun, setelah sebelumnya hanya bermain dengan teks sastra. Tahun itu saya mulai bergaul dengan orang-orang yang paham seni rupa, baik mereka yang berseni karena sebelumnya sudah mendapatkan pendidikan akademis, maupun mereka yang menerapkannya secara langsung sebagai bagian hidup yang tak terpisahkan.
Tak lama kemudian, kemampuan dwi-bahasa saya juga dipergunakan untuk menerjemahkan teks-teks yang menemani atau mengantarkan karya seni rupa: baik yang berupa teks dinding, pengantar kuratorial dalam katalog pameran maupun artikel yang membahas tentang seni rupa di media cetak
Seni rupa sangat menarik karena ia tidak bicara dengan bahasa teks, melainkan bentukan visual yang terkadang sangat kompleks. Sama seperti halnya teks bagi seorang penulis, karya seni adalah medium sang seniman untuk menyampaikan pesan. Namun karena kompleksitas bentukan karya seni tersebut, ada kalanya pemirsa tidak dapat memahami pesan yang berusaha disampaikan sang seniman. Karenanya, teks pendamping atau pengantar kuratorial seni rupa menurut saya adalah terjemahan atas karya seni rupa agar pesannya sampai kepada pemirsanya. Sehingga, saat saya menerjemahkan sebuah teks pendamping atau pengantar seni rupa, rasanya saya melakukan sebuah pekerjaan tersier: menerjemahkan terjemahan.
Sama seperti pada sastra, ketertarikan saya atas dunia seni rupa sampai saat ini masih cukup naïf: keinginan untuk menyampaikan pembacaan yang segamblang-gamblangnya, pemaknaan sederhana atas seni rupa, agar ia bisa menjangkau pemirsa yang lebih luas.