Thursday, July 1, 2010

Legends: Soo Bin’s Portraits of Chinese Ink Masters (translation)

Tahun 2005-2008 saya banyak menerjemahkan artikel untuk majalah Visual Arts yang terbit di Indonesia. Salah satu penulis favorit saya adalah Zhuang Wubin. Menerjemahkan tulisan beliau sekaligus menambah pengetahuan saya tentang dunia fotografi seni. Berikut adalah salah satu hasil terjemahan dari artikel yang ditulis Zhuang Wubin untuk majalah Visual Art di tahun 2006. Seri Legends dipamerkan di Singapore Art Museum pada bulan April 2006


Dari 1985 hingga 1988, Chua Soo Bin melaksanakan proyek pibadinya memotret 14 master tinta cina paling berpengaruh dalam membentuk seni di Cina abad 20. Bolak-balik ke kediaman dan studio mereka di Singapura, Cina, Hong Kong, Taiwan, dan Amerika Serikat, Chua menghabiskan lebih dari 200 rol film menggunakan kamera Nikonnya. Jenis film yang sering dia pakai adalah ISO 1600, yang memberikan tekstur tegas dan berbintik pada foto-fotonya sehingga mirip lukisan tinta Cina. Seri tersebut pertama kali dipertunjukkan di Singapore Art Museum (SAM) pada 1989, dan diterbitkan sebuah buku fotografi berjudul Liuzhen: Portraits of Excellence. Bertahun-tahun kemudian, pameran tersebut mengunjungi kota-kota antara lain Hong Kong, Taipei, Beijing, Hangzhou, dan Chongqing. Awal tahun ini, fotografer Singapura tersebut menyumbangkan 18 foto dari seri tersebut kepada SAM. Untuk merayakan peristiwa ini, SAM memamerkan sumbangan tersebut dalam sebuah pameran berjudul “Legends: Soo Bin’s Portraits of Chinese Ink Masters” sejak 13 Maret hingga 4 April 2006. Pameran ini juga bersamaan dengan peluncuran ulang bukunya dalam edisi berbahasa Cina dan bahasa Inggris.

Dikarenakan popularitasnya yang hebat dan tanggapan positif, pameran itu lantas diperpanjang dan diperbanyak menjadi 28 potret dipamerkan dalam Soobin Art Iternational di 140 Hill Street di Singapura dari 30 April hingga 17 Mei.

Bila diperhatikan, proyek Chua untuk mendokumentasi para master tinta ini waktunya sangat tepat. Beberapa tahun setelahnya, Cina muncul kembali sebagai kekuatan ekonomi yang besar. Efeknya terasa di berbagai sektor, termasuk lingkungan seni Cina. Sekarang, konsumsi seni domestik dan ketertarikan kurator internasional yang mengikuti tren terus membangun ledakan dalam pasar seni Cina. Dalam konteks ini, karya Chua telah menjadi artefak sejarah bernilai tinggi, terutama bagi para kolektor yang mengikuti perkembangan karya master tinta yang dipotret dan bagi mereka yang tertarik secara serius pada seni Cina. Terlebih lagi, semenjak pameran tahun 1989, semua master tinta yang ditampilkan dalam proyek Chua telah meninggal dunia. Akan tetapi, tidak langsung jelas apalah kualitas artistik foto-foto itu sendiri mendapat penghargaan yang sama. Selama forum Mandarin yang diadakan sehubungan dengan pameran baru-baru ini, kebanyakan dialog antara fotografer dan pemirsa didominasi oleh ideosinkrasi dan kepribadian para master tinta tersebut, dan hanya sedikit membahas foto-foto Chua sebagai seni. Ini pasti agak mengecewakan, mengingat bahwa Chua sudah menerima banyak pengakuan selama karirnya sebagai seorang fotografer—menjadi Rekanan Royal Fotoic Society of the United Kingdom setidaknya semenjak 1955, dan menerima Singapore Cultural Medallion pada tahun 1985.

Pada saat yang bersamaan, sangat penting untuk dicatat bahwa foto-foto tersebut menunjukkan, lebih dari apa pun, cara Chua Soo Bin melihat subjeknya dan cara dia ingin mereka dikenang—jelas, dengan rasa kasih sayang dan hormat—oleh generasi masa depan. Meskipun material publikasi pameran memberi kesan pemirsa demikian, tetapi Chua tak selalu mengambil pendekatan jurnalisme foto. Bahkan, metodologi kerjanya cenderung seperti Russel Wong, seorang fotografer selebritas. Selama forum, fotografer ini mengisahkan bagaimana dia membawa Zhu Qizhan (1892–1996)—yang adalah master tinta tertua yang ditampilkan dalam proyek Chua—ke sebuah taman kanak-kanak sehingga dia bisa mendapat kontras muda dan tua dalam fotonya. Dalam kasus Guan Shanyue (1912-2000), Chua bahkan sampai mengundang seorang pematung untuk membuat patung dada sang master tinta dan memotretnya. Chua adalah seorang partisipan aktif, walaupun tersembunyi, dalam foto-fotonya.

“Fotografi tidak seperti film,” kata Chua Soo Bin yang berusia 74 dalam forum. “Sebagai seorang fotografer, saya harus membuat sebuah klimaks untuk tiap gambar.”

Karenanya, pendekatan Chua tidak sungguh-sungguh membuat foto-fotonya jadi kurang atau lebih “nyata”. Manipulasi selalu tersedia sebagai teknik, bahkan pada masa fotografi analog. Namun, seorang seniman yang menggunakan Photoshop bisa saja menciptakan gambar dunia “nyata” untuk pemirsanya dengan semangat yang sama seperti fotografer biasa. Sehingga, kewajiban jatuh kepada pemirsa untuk mempertanyakan integritas para perupa daripada mempercayai dengan buta keabsahan sebuah gambar.

Di sisi lain, terdapat banyak gambar dalam seri Chua yang menunjukkan derajat keintiman antara sang fotografer dan para seniman tersebut, yang jelas tak bisa dibuat-buat. Salah satu contohnya adalah foto Chua atas seniman perintis Singapura Chen Wen Hsi sedang membakar karyanya yang tidak memuaskan sehingga hanya tersisa yang terbaik untuk diwariskan. Melihat foto-foto Chua, sangat mudah bagi orang awam untuk memahami kesedihan yang mungkin dirasakan Chen saat menatap kobaran api.