Tulisan berikut ini adalah pengantar kuratorial yang ditulis oleh Asikin Hasan untuk pameran tunggal seni patung Basrizal Bara. Walau menerjemahkannya ke Bahasa Inggris, saya sendiri belum pernah melihat pamerannya ataupun katalognya :)
Bebatuan berbagai jenis, berton-ton beratnya, bergeletakan di halaman sebuah rumah sekaligus bengkel kerja di Yogyakarta. Onyx, marmer, granit hitam, fosil kayu yang membatu, dan lain sebagainya, semua diperoleh melalui pencarian berhari-hari di pelbagai kawasan pesisir dan pedalaman Jawa. Al Bara sang pematung dan pemburu bebatuan itu misalnya, menemukan granit hitam yang beberapa abad lalu konon dipergunakan kolonial Belanda untuk menahan pukulan ombak di kawasan pelabuhan Tanjung Mas.
Pelbagai pertanyaan muncul tatkala melihat himpunan bebatuan sebanyak itu. Untuk apa? Bagaimana Al Bara memindahkannya dari satu kawasan tertentu sampai ke halaman rumahnya? Berapa banyak orang dikerahkan untuk menggeser bebatuan itu satu persatu, dan berapa lama? Akhirnya semua pertanyaan akan berujung pada hitung-hitungan: Berapa sesungguhnya ongkos yang harus dikeluarkan sebelum bebatuan itu diolah menjadi sebuah patung?
Tentu saja, ditinjau dari ekonomi seni patung masa kini, langkah-langkah Al Bara itu disamping tak ekonomis, juga tak efisien. Sebab, seni patung modern kita yang mulai nampak gejala pertumbuhannya sejak akhir tahun 50-an, kini sudah mengalami kemajuan berarti dari segi medium. Menggunakan batu selaku medium utama seni patung justru semakin ditinggalkan orang. Dilihat dari situ saja sudah tampak kontroversinya Al Bara dalam kancah seni patung masa kini.
**
Sejarah seni patung modern Indonesia terbilang masih muda, dimulai oleh sejumlah pelukis. Ketika itu mereka mencoba mempraktikkan karya-karya trimatra untuk mendapatkan pengalaman baru di bidang seni rupa. Semua tanpa dibekali pengetahuan memadai mengenai prinsip dasar seni patung. Affandi mencoba membangun patung potret diri dengan medium tunggal tanah liat. Hendra Gunawan, memahat batu andesit, antara lain menggambarkan Jenderal Sudirman berdiri dengan sebelah tangannya bertumpu pada sebuah tongkat. Kini patung potret diri itu disimpan di Museum Affandi, dan patung Jenderal Sudirman masih berdiri kokoh di depan gedung DPRD Yogyakarta.
Namun, perkembangan seni patung, baik dari segi medium maupun dalam bidang teknik, tak sederas bidang seni lukis. Masuk akal, sebab dilihat dari aspek apa saja, seni patung jauh lebih berselit-belit dibanding bidang seni rupa lainnya. Untuk pertama kali dalam sejarah, pematung Edhi Soenarso memotong jalan dengan menggunakan logam pada karya-karyanya. Di era 60-an Edhi banyak mendapat pesanan dari presiden RI pertama, Soekarno, membangun patung-patung monumen di sejumlah titik strategis ibukota Jakarta, antara lain; Selamat Datang, Pembebasan Irian Barat, dan Dirgantara.
Tumbuh dari patung-patung monumen dalam skala besar itulah kemudian, bergerak cepat ke bawah, menuju patung-patung logam dalam skala kecil. Perubahan ini cepat membawa pengaruh di kalangan para pematung lain. Belakangan lewat karya-karya G. Sidharta Soegijo, But Muchtar, Rita Widagdo, Arsono, Nyoman Nuarta, Dolorosa Sinaga, kemudian diikuti pematung dari generasi lebih muda, medium logam makin populer.
Seni patung modern sangat sadar memanfaatkan perkembangan revolusioner di bidang bahan. Penemuan dalam industri kimia yang menghasilkan macam-macam medium telah memudahkan pekerjaan para pematung masa kini. Selain makin banyak pilihan, kehadiran medium-medium baru itu membuat karya-karya menjadi lebih beragam.
Beberapa medium produk industri yang paling banyak dipakai dan digemari para pematung adalah fibre glass atau resin. Di samping harganya memang murah dibanding material industri lainnya, pengolahan serat gelas lebih mudah, dan patung dapat diproduksi lebih cepat Bahkan terbuka kemungkinan luas untuk dilapisi dengan material lain; kuningan, perak, perunggu, dan seterusnya, sehingga material aslinya tak tampak lagi, seolah-olah material itu sepenuhnya terbuat dari logam.
Di tengah segala-galanya yang bergerak dengan cepat dan digiring menuju ke satu jalur yang mudah oleh dunia industri, Al Bara justru menempuh jalan sulit. Berputar bak kumparan, menghela sepenuh tenaga bongkah demi bongkah bebatuan, Ia berkutat pada medium paling primitif dalam tradisi seni patung sepanjang sejarah. Menganggap sepi perkembangan medium dalam seni patung, cenderung mengabaikan soal untung rugi dan efisiensi. Ia tak begitu tertarik pada medium artifisial seperti resin, kendati pernah mencobanya untuk beberapa karya.
Karya-karya Al Bara jauh dari kecenderungan karya rekan-rekan seprofesi di Yogyakarta. Ia mengingatkan kita pada tradisi para pematung dan karya-karya di masa silam. Kita membayangkan menhir, dolmen, patung-patung primitif yang kaku, dan kasar. Atau stone henge di Inggris, balok-balok batu besar dan berat, ditumpangkan pada batu lainnya yang ditegakkan selaku konstruksinya. Semua berasal dari alam, dan ditempatkan di alam terbuka. Mungkin Al Bara adalah salah satu pematung masa kini yang menyisakan idealisme para pematung masa silam itu.
**
Mengumpulkan dengan susah payah bebatuan dan fosil berusia ribuan tahun, apa selanjutnya yang akan dilakukan oleh Al Bara? Mungkin banyak orang mengira ia akan memahatnya perlahan inci demi inci, sebagaimana praktik seni pahat yang dipelajarinya di Studio Seni Patung FSRD-ISI, Yogyakarta.
Dalam pendidikan seni patung diajarkan bagaimana berlaku khidmad pada alam dan memberlakukan medium dengan penuh cinta kasih. Ada kesantunan yang dilakukan secara bertahap dan perlahan, mulai dari membentuk struktur awal yang kasar hingga menjadi bentuk akhir yang halus.
Sekali mata pahat menancap pada dinding batu, ketika itu pula kita berhadapan dengan momentum sebuah perubahan. Kita belajar mengendalikan emosi, dan berlaku sabar pada tiap prosesnya. Praktik mematung pada hakekatnya bukan semata membentuk sesuatu, tapi mengenal hakekat dari obyek yang tengah kita ubah wujud fisiknya; dari apa adanya menjadi sesuatu yang lain. Lebih jauh lagi adalah upaya memahami kehidupan itu sendiri.
Kebersahajaan serupa itu nampak makin menjauh di kalangan pematung masa kini, pun pada praktik yang diperlihatkan oleh Al Bara dalam karya-karyanya. Anggota Asosiasi Pematung Indonesia (API) ini tak menyapa bebatuan itu dengan mata pahat dan palu secara perlahan, melainkan melukainya dengan gigi-gigi gergaji—perkakas listrik yang biasa dipakai untuk kepentingan dunia industri, bergerak dengan kecepatan sangat tinggi, dan menyelesaikan segala-galanya dengan cepat. Di tangan Al Bara, dalam sekejap bagian demi bagian bebatuan padat itu bak sepotong kue nan teriris.
Apabila kita terbiasa pada sebuah proses alamiah, dan menikmati seni patung dengan intensitas bentuk sebagaimana kita menikmati rambatan cahaya pada fotografi dari yang terang menuju gelap atau sebaliknya, maka kita tak menemukan hal itu pada karya-karya Al Bara. Ia terlalu lugas untuk berlaku seperti itu. Pada karya-karyanya, sulit kita menangkap getaran hubungan emosional antara sang pematung selaku subyek, dengan alam di luar dirinya selaku obyek. Masing-masing berdiri sendiri-sendiri, dan yang satu cenderung menaklukkan yang lainnya. Karya-karyanya membersitkan semangat macho, perilaku dunia lelaki yang keras, kasar, dan kalau perlu menghancurkan. Tergambar di situ kurang lebih, perilaku manusia modern umumnya yang selalu berambisi menaklukkan seisi alam.
Lihat beberapa karyanya, mengambil sikap berlawanan arah dengan sifat dan karakter pada medium yang dipakainya. Ambil contoh karya berjudul “Gunung”, terbuat dari batu mulia (gemstone) campur timah putih, berukuran 90X30X40 sentimeter, bertarikh 2005. Di situ, Al Bara mencoba menafsir irama alam dengan menerakan sejumlah guratan gergaji pada dinding batu. Guratan itu membentuk garis-garis yang sangat dominan, hingga mengalahkan barik yang melekat pada tubuh batu itu sendiri. Ia melihatkan kuasa dirinya atas obyek ditangannya, dan sama sekali tak memperdulikan kontur atau irama barik pada batu tersebut. Dibangunnya alam sendiri di atas alam mediumnya. Dengan kata lain, di atas keindahan yang normatif ia membangun keindahan lain menurut tafsir bebasnya. Alam yang sudah kita sepakati memiliki keindahan sudah habis dilucuti oleh Al Bara pada saat itu.
Kecenderungan serupa nampak pada “Joged Bersama”, karya terbuat dari marmer, berukuran 100X 200X 45 sentimeter, bertarikh 2004. Pada karya ini, karakter medium justru dilenyapkan sama sekali. Kesukaannya pada tema yang dimaksud, dikejarnya habis-habisan agar segera terwujud. Dan, batu selaku medan pergulatannya tak berdaya apa-apa. Di situ medium benar-benar berdiri sebagai obyek yang terjajah, tanpa suara untuk menyatakan dirinya.
Lalu, aspek utama dalam seni patung modern semisal plastisitas, harmoni, intensitas, dan kecenderungan normatif lainnya, kerapkali diruntuhkan pula oleh Al Bara. Segala karyanya cenderung membenturkan diri pada estetika yang umum. Lihat misalnya “Jalan Surga”, karya terbuat dari granit hitam dan tembaga, berukuran 400X100X300 sentimeter, bertarikh 2006. Surga yang dimaksud bertolak belakang dengan cerita-cerita paling tidak pada agama samawi yaitu; taman, air, bidadari cantik, segala hal yang serba nyaman, dan menyenangkan. Al Bara justru menghadirkan bentuk-bentuk sederhana, terasa kering dan hubungan bentuk satu dengan lainnya seperti menyimpan rasa sakit. Patung itu digambarkan secara simetris dua sisi anak tangga di kiri dan kanan. Persis di tengahnya sebidang bentuk dengan bulatan kerawang. Dari atasnya menyembul suatu bentuk seperti bandul. Bentuk-bentuk yang saling berlawanan, atau mungkin sebagai sebuah pasangan; positif dan negatif. Sekilas menyerupai simbol lingga dan yoni. Kemudian Al Bara ringan saja memberi tera telapak kaki pada undak-undak yang merupakan bagian pada patung tersebut. Kita mungkin terperangah oleh keputusan itu. Kalau tak kenal Al Bara, kita segera membayangkan bahwa, orang ini tak mengerti prinsip seni patung modern. Ia menabrak sana sini, mengabaikan aturan main.
Persoalannya tentu saja, apakah semua ini suatu kesengajaan dari sang pematungnya. Sebuah keisengan untuk mengganggu arus utama seni patung yang selama ini terlalu manis dan santun. Mungkinkah ia risau dan bosan dengan kecenderungan yang itu-itu saja. Atau suatu penjelajahan bebas tanpa batas, sebuah eksperimentasi dalam dunia seni kontemporer, untuk menemukan jalan baru, jalan lain seni patung masa kini. Kerapkali karya-karya Al Bara yang sampai dihadapan kita, lebih terasa membentangkan setumpuk masalah seni masa kini, ketimbang penyelesaian sebuah obyek perupaan. Apakah ia membuat seni patung, atau justru tengah mempertanyakan hakekatnya yang lebih mendasar.
**
Basrizal Al Bara, demikian nama lengkapnya, lahir di Bengkalis, Sumatra, 30 April 1966. Sejak memasuki SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa) Padang (1983), ia terus memantapkan pilihan pada dunia seni rupa. Selanjutnya ia mendalami pendidikan seni patung modern pada Jurusan Seni Murni FSRD ISI (1988). Sebagaimana umumnya pematung muda, semula karya-karyanya bercorak figuratif dan realis. Kecenderungan serupa ini wajar, sebuah tahap pengenalan teknis yang berkaitan dengan struktur, anatomi, dan pemahaman akan plastisitas bentuk.
Perkembangan satu dekade belakangan ini telah mengantarkannya pada kecenderungan yang lebih bebas, bahkan mungkin terlalu liar. Beberapa sosok memang masih kita temukan pada karya-karyanya, namun sosok-sosok tersebut bergeser selaku simbol-simbol, atau ia hanya menangkap garis besarnya saja selaku sebuah abstraksi dari figur. Melalui medium utama batu, kadang-kadang dicampur dengan pelbagai media lain, seperti; kaca, logam, dan obyek, ia melakukan penjelajahan tak terbatas ke dalam seni patung.
Sisi-sisi dramatik pada seni patung lewat kehadiran volume atau kepejalan, belakangan ini tak kita lihat pada sebagian besar karya-karya Al Bara. Dalam praktik seni patung justru kepejalan itulah yang lazim di eksploitasi habis-habisan. Itu pula yang membedakannya secara mendasar dengan karya-karya dwimatra. Kecenderungan intuitif pada karya-karya Al Bara, memperlihatkan upayanya menemukan jalan sendiri di luar praktik yang umum. Karya-karyanya mengantarkan kita pada tegangan antara seni patung modern dan patung-patung primitif atau patung-patung tradisional.
Perhatikan karya berjudul: “Mengukur Bayang-Bayang”, terbuat dari 18 balok batu granit, berukuran 360X160X200 sentimeter, bertarikh 2005. Judul pada karya ini agaknya terinspirasi dari pepatah yang memang sangat kaya di kampung halaman Al Bara. Lengkapnya berbunyi: Ukurlah Bayang-Bayang Sepanjang Badan, maksudnya agar setiap orang senantiasa rendah hati dalam berbuat sesuatu, selalu mengukur antara kemampuan dan tujuan yang hendak dicapai.
Dalam karya ini kita melihat upaya Al Bara mempertemukan aspek seni modern dan semangat pada seni primitif yang monumental. Di situ sosok hanya merupakan sebuah simbol yang datar tanpa volume. Kita tahu kehadiran sosok di situ hanya lewat beberapa isyarat bentuk yang menyerupai blabar kepala dan tubuh manusia. Melalui bentuk sosok yang datar ini pula, Al Bara menemukan bentuk sebaliknya yang kerawang. Secara simbolis tentu saja dimaksudkannya sebagai bayang-bayang. Bebatuan yang beratnya berton-ton pada karya tersebut, ditumpuk-tumpuk mencapai hampir 4 meter. Konstruksinya bertumpu dari satu batu dengan batu lainnya, mengingatkan kita pada sistem kunci pada konstruksi batu pada bangunan Borobudur atau candi-candi lain di Jawa.
Karya-karya Al Bara memperlihatkan keragaman bentuk yang diserapnya dari pelbagai sumber lampau maupun kini, alam maupun buatan. Namun semangat maupun teknik memperlihakan alur yang sama, sebaimana terlihat dalam pameran ini. Misalnya kecenderungan seperti pada karya “Mengukur Bayang-Bayang”, diulang kembali pada karya “Tumbuh Kembali” yang terbuat dari fosil kayu, batu granit, dan timah putih, berukuran 500X80X70 sentimeter, bertarikh 2005, dan “Berdua” yang terbuat dari fosil kayu dan batu granit, berukuran 300X60X40 sentimeter, bertarikh 2006, “Totem”, terbuat dari fosil kayu, berukuran 300X40X30 sentimeter, bertarikh 2005, Aspek monumental pada karya-karya ini, jelas sekali dicerap dari seni patung primitif dan patung tradisional.
Walau bergerak kemana-mana dan pelbagai percobaan dilakukannya, toh bayangan figur nampak tak pernah pergi dari karya-karyanya. Karya berjudul “Perjalanan” yang terbuat dari marmer, berukuran 95X40X30 sentimeter, bertarikh 2003, menggambarkan sosok dalam kesan berjalan. Berbeda dengan sosok lainnya, karya yang nampak ekspresif ini dengan tegas memperlhatkan bagian tubuh dan detail tangan. Bahkan jubah yang terpasang pada sang sosok digarap sedemikian rupa, seolah-olah representasi kain tertiup angin pada tubuh yang tengah bergerak.
Bandingkan misalnya dengan “Belahan Jiwa”, karya terbuat dari batu granit, berukuran 300X40X60 sentimeter, bertarikh 2006. Di sini sosok ditampilkan datar, tanpa volume, ia hanya memain-mainkan bentuk-bentuk positif dan negatif. Dalam dua tahun belakangan, kecenderungan sosok seperti ini, kerapkali muncul dalam karya-karyanya.
Karya-karya Al Bara menunjukkan ungkapan-ungkapan bebas, tak terbatas. Pelbagai cerita pada karya-karyanya; Rumah di Kaki Bukit, Lingga dan Yoni, Penjaga Malam, Orang Kaya, Di Khayangan Ada Pesta, Gerbang Surga, terasa melampaui kemampuan yang dapat ditampung oleh seni patung itu sendiri. Selalu muncul paradoks ketika kita berhadapan dengan karya-karya Al Bara. Tapi, justru di situ pula agaknya kita menemukan kejujuran dan orisinalitasnya.